REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Ali Masykur Musa mengatakan di dalam negara Indonesia yang majemuk perlu dikembangkan "religious literacy" atau sikap terbuka terhadap dan mengenal nilai-nilai dalam agama lain.
"Dengan 'melek' agama lain, kita bisa memahami bahwa agama dan kemanusiaan adalah dua hal yang menyatu di dalam diri manusia. Tidak ada yang boleh untuk saling mengalahkan," kata Ali Masykur pada diskusi Gerakan Integritas Nasional dengan tema "Tantangan Kemajemukan Indonesia dan Integrasi Sosial Abad XXI" di Gedung Newseum Indonesia, Jakarta, Kamis (27/11).
Ia mengatakan tidak boleh atas nama agama kemudian merendahkan kemanusiaan, demikian juga sebaliknya atas nama kemanusiaan lalu merendahkan agama. Keduanya adalah sesuatu yang sistemik dan holistik. "Beragama yang benar adalah beragama yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dan berkemanusiaan yang benar adalah yang didasari oleh keyakinan beragama secara benar," kata.
Menurut Ali Masykur, memasuki abad 21 revolusi komunikasi dan informasi memang telah meningkatkan kesadaran akan kemajemukan masyarakat, tapi sayangnya masih banyak kelompok orang yang belum menganggap kemajemukan sebagai rahmat hidup bangsa Indonesia.
Ia mengatakan kenyataan sosiologis negeri ini menunjukkan bahwa euforia reformasi telah melahirkan keping dengan dua sisi sekaligus. Sisi pertama kebebasan mendapatkan informasi dan berpendapat semakin luas, di sisi yang lain pengungkungan atas kebebasan juga marak terjadi.
Ekspresi atas fanatisme agama bisa muncul dalam berbagai bentuk, bisa berupa ceramah dan tulisan penuh kecaman, hingga intimidasi fisik dan psikologis. Semuanya menimbulkan hilangnya rasa aman dan damai di bumi Indonesia.
"Yang paling parah saat ini adalah maraknya radikalisme atas nama agama. Hal ini tidak boleh terjadi lagi," tegas Cak Ali, sapaan akrab Ali Masykur. Oleh karena itu, lanjut anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, "religious literacy" sebagai solusi harus dikembangkan.