Senin 18 Nov 2013 15:39 WIB

Zakat PNS Belum Maksimal

Rep: amri amrullah/ Red: Damanhuri Zuhri
Zakat (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Zakat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,

Keberadaan aturan dinilai kontraproduktif.

JAKARTA -- Penghimpunan zakat di lingkungan aparatur negara belum maksimal. Salah satu pemicunya, ketiadaan aturan pemerintah yang mewajibkan penyaluran zakat karyawan yang tergolong muzaki di kementria lewat Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Baznas.

Menurut Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Prof KH Didin Hafidhudin, perlu instruksi presiden (inpres) untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat di intansi birokrasi. Inpres tersebut bisa mendongkrak perolehan zakat.

“Target Rp 5 triliun bisa tercapai,” ujar kyai Didin sebelum peluncuran Gerakan Ekonomi Syariah di silang Monas, Jakarta, Ahad (17/11).

Dia menilai, pemahaman zakat para aparatur negara di kementerian masih sebatas individual, belum institusional. Selain inpres, solusinya perlu peningkatan sosialisasi, penguatan kelembagaan zakat yang amanah dan dipercaya.

Selain itu, inovasi program pendayagunaan zakat, bukan sebatas penyaluran tunai, melainkan pemberdayaan. Penguatan regulasi dan sinergi antarlembaga keuangan juga mendesak direalisasikan.

Saat ini, ungkap Didin, zakat yang terkumpul berkisar Rp 2 triliun hingga Rp 3 triliun. Pada 2013, zakat pada akhir tahun diprediksi bisa tembus angka Rp 3 triliun. Proyeksi itu diyakini tercapai mengingat per Oktober 2013 sudah mencapai Rp 2,4 triliun.

Wakil Sekretaris Baznas M Fuad Nasar mengatakan, pascapengesahan UU Pengelolaan Zakat, yang antara lain, mengatur lingkup kewenangan pengumpulan zakat melalui UPZ di lingkungan Kementerian/Lembaga dan BUMN, hasilnya belum memenuhi harapan.

Dari seratus lebih UPZ yang dibentuk Baznas, hanya tujuh UPZ yang aktif. Mulai dari pelaporan penyetoran hingga penghimpunan zakat. Padahal, potensi zakat yang seharusnya bisa dihimpun dari pegawai/karyawan cukup besar. "Ini fakta yang perlu kami sampaikan ke publik."

Fuad menilai, kesadaran berzakat mereka cukup tinggi, tetapi pengoordinasiannya yang kurang. Rendahnya dukungan pimpinan dianggap sebagai salah satu faktornya.

Tak sedikit pimpinan dan penentu kebijakan yang belum memahami konsepsi zakat dalam konteks bernegara. Kondisi ini diperburuk dengan belum terjangkaunya sosialisasi zakat hingga level penentu kebijakan atau top management.

Menurut Fuad, regulasi pembentukan UPZ dianggap kurang tegas. Apalagi, masih kuatnya kecenderungan untuk membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) secara mandiri di lingkungan BUMN dibanding bersinergi dengan Baznas.

Saat ini, Baznas dengan Kemenag tengah menyusun konsep kebijakan optimalisasi pengumpulan zakat di lingkup Kementerian/Lembaga dan BUMN melalui Baznas.

Kontraproduktif

Pengamat Filantropi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr Amelia Fauzia beranggapan, rendahnya kesadaran berzakat para aparatur negara bukan dipicu oleh ketiadaan peraturan yang mewajibkan.

Keengganan sebagian karyawan berzakat di UPZ bukan lantas mereka tidak berzakat sama sekali. Mereka lebih memilih berzakat di lembaga lain ataupun menyalurkan langsung ke mustahik. Fakta ini diperkuat melalui temuan dalam penelitiannya belum lama ini.

Seperti yang pernah terlihat di Era Orde Baru. Meskipun Pemprov DKI ketika itu memungut zakat dari para karyawannya, tetap saja para muzaki dari lembaga berpelat merah itu berzakat di lembaga lain.

Menurut Amelia, meskipun aturan penting, dia berpendapat, bila tetap dipaksakan dengan penerbitan aturan yang mengekang, justru akan kontrapodukif. Dia mengkritik budaya mengeluarkan ragam aturan yang kerap terabaikan sendiri.

Lebih baik, ungkap dia, saat ini yang perlu dilakukan oleh pegiat zakat adalah memperkuat kinerja lembaga agar lebih profesional, transparan, dan inovatif.

Dengan demikian, para muzaki di lembaga pemerintahan tersebut tertarik dan lantas dengan sadar menyalurkan zakat mereka lewat UPZ tersebut. “Masyarakat kita berpikir kritis sekarang,” tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement