Selasa 12 Nov 2013 19:39 WIB

Usai Shalat Pertama, Patricia Zahra Pal Menangis

Mualaf tengah membaca literatur Islam/ilustrasi
Foto: onislam.net
Mualaf tengah membaca literatur Islam/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,Patricia Zahra Pal berusia 15 tahun saat keluarganya bermigrasi dari Hungaria ke Austria. Disana, keluarganya menetap di Villach.

Bagi Patricia, tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Ia harus menguasai bahasa Jerman, bahasa yang banyak dipakai warga Austria.

"Jujur, aku rindu dengan tempat tinggalku sebelumnya. Banyak teman, yang membuatku mudah menghilangkan mood tdak enak," kata dia seperti dilansironislam.net, Selasa (12/11).

Suatu hari, perempuan asal Chenchya mendatangi Patricia. Senyum ramah terlepas dari perempuan berhijab itu. Ini adalah pertemuan pertama Patricia dengan seorang Muslim.

Di kampung halamannya, Patricia tidak pernah bertemu seorang Muslim. Ini karena ia sibuk dengan rutinitasnya. Namun, Austria begitu berbeda, di sini banyak komunitas agama berbeda, seperti Yahudi, Buddha dan Islam."Informasi soal Islam hanya didapatnya melalui media. Jelas, pemberitaannya begitu negatif. Tapi saya acuhkan itu," kata dia.

Seiring pertemannya dengan perempuan Chechnya, Patricia semakin paham kalau seorang Muslim itu sama seperti umat agama lain. Mereka tidak seburuk yang digambarkan media massa. "Mereka justru membantu menguasai bahasa Jerman. Mereka melindungiku dari teman-teman yang meledeku," kata dia.

Yang menarik perhatian Patricia ketika bersosialisasi dengan kawannya yang Muslim, adalah bagaimana mereka berinteraksi satu dengan yang lain. "Mereka punya tata cara bergaul antara laki-laki dan perempuan, seperti ada batasan. Tentu ini ada maksudnya. Tapi saya kagum bagaimana lelaki Muslim melindungi teman mereka yang perempuan dengan cara yang santun," kata dia.

Ketertarikan Patricia semakin menjadi ketika ia diajak makan siang bersama di rumah salah seorang temannya yang Muslim. Di sana ia menemukan sebuah keluarga besar. Mereka shalat bersama-sama. "Mereka begitu bahagia, bersatu dan mereka seperti bersyukur dengan apa yang dimiliki," kata dia.

Patricia lalu membandingkan situasi itu dengan kebanyakan keluarga di Hungaria. Di bekas negeri komunis ini, hanya ada dua anak setiap keluarga. Kebanyakan orang tua sibuk bekerja, sehingga  anak diserahkan kepada pengasuh. Tingkat stres keluarga di Hungaria juga tinggi."Beda dengan mereka, keluarga Muslim," ucapnya.

Sejak makan siang bersama itu, Patricia mulai berpikir untuk lebih mendalami ajaran Islam. Namun, satu hal yang dipikirkannya, bagaimana reaksi keluarga dan lingkungannya. Perasaan "galau" ini membuatnya tertekan. Ia pun kembali mengkonsumsi alkohol di klub malam. "Aku kenakan pakaian seksi, yang membuat banyak pria meliriku. Lalu, aku mabuk setiap pekan. Uangku habis untuk itu," kata di.

Pada titik klimaks, Patricia merasa jenuh dengan itu. Ia ingin hidupnya lebih berarti. Kembali ia teringat dengan ajaran Islam. Ia cari lagi informasi tentang Islam, hingga akhirnya ia menemukan satu keluarga yang begitu hangat, dan membantunya mendalami Islam."Aku merasa inilah saatnya. Alhamdulillah, aku menjadi seorang Muslim. Aku pun melaksanakan shalat pertamaku, dan aku menangis sejadi-jadinya," kenang dia.

Usai bersyahadat, Patricia memberitahu keluarganya soal keputusan menjadi Muslim. Keluarganya marah besar, ibunya menangis sepanjang hari. Adiknya tak lagi mau berbicara dengannya. Mereka pun tak mau memandangi Patricia yang telah berhijab."Aku menangis, dan mengadu kepada Allah. Alhamdulillah, Dia mendengar keluhanku, ia mendapatkan pekerjaan yakni mengajar disebuah sekolah pemerintah," kata dia.

Serjalan seiring waktu, keluarganya tak lagi menjauhinya. Mereka menerima Patricia apa adanya. Bahkan, ibunya tak lagi memasakan daging babi. Kebahagiaan Patricia kian lengkap ketika ia menemukan pendampingnya. "Alhamdulillah, aku panjatkan rasa syukur kepada Allah atas hidayah dan rahmat-Nya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement