Senin 28 Oct 2013 05:52 WIB

Jadilah Pemimpin Sederhana!

Calon Pemimpin
Foto: IST
Calon Pemimpin

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh M Husnaini (Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’)

Memang, tidak gampang menduduki kekuasaan. Ada orang bilang, kekuasaan itu memabukkan. Sementara, kekuasaan umumnya didapat lewat jalur politik. Orang pun berujar, politik itu keji dan kotor. Ucapan bernada kelakar itu seolah mendapatkan pembenaran di atas panggung perpolitikan kontemporer. Bukan hanya berlaku di Indonesia, melainkan menggejala di semua negara di dunia.

Ketika menjabat, mulanya mengabdi, tetapi lama-lama melakukan korupsi. Sudah banyak buktinya. Tentu masih ada pemimpin yang bersedia melakukan korupsi. Juga pemimpin yang berjiwa rabbani. Tetapi, jumlahnya segelintir. Namanya juga pasti kurang kondang, karena jarang muncul di media. Kebanyakan pemimpin dipastikan berjarak dari sikap sederhana. Umumnya pemimpin diasumsikan karib dengan sikap licik dan koruptif.

Kekuasaan menjadi cara ampuh untuk meraup harta. Muncul anggapan begini: Kalau ingin segera kaya, jadilah penguasa. Kalau ingin cepat melejit, terjunlah dalam politik. Soal membuktikan janji itu nanti, yang penting bagaimana modal pencalonan diri lekas kembali. Soal kesejahteraan rakyat itu urusan kesekian, yang penting posisikan dulu rekan dan keluarga di jabatan mapan. Soal minim karya itu lumrah, yang penting kedudukan bisa langgeng selamanya. 

Itulah perilaku umum di kebanyakan pemimpin dunia sekarang. Hampir tidak ditemukan pemimpin yang mau hidup sederhana, apalagi miskin harta. Seperti aneh, kalau ada pemimpin kok tidak kaya. Padahal kenyataan yang seharusnya tidak demikian. Pemimpin harus manusia ‘setengah Dewa’. Dia seyogianya pribadi yang mampu mengatasi egonya. Tahan merasakan penderitaan dirinya, tetapi meronta melihat penderitaan rakyat yang dipimpinnya. 

Watak kepemimpinan demikian telah dicontohkan Rasulullah. Beliau terbukti mewakafkan seluruh hidup untuk rakyat. Pengabdian Rasulullah bukan untuk memperkaya diri dan keluarga, melainkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Keseharian beliau sangat sederhana. Hamparan tidur terbuat dari kulit berisi sabut. [HR Bukhari]. Rasulullah bahkan bersedia menahan lapar asalkan rakyat merasa kenyang. Seperti ditegaskan Aisyah, istri beliau tercinta, “Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang oleh roti gandum selama dua hari berturut-turut. Keadaan demikian berlangsung sampai beliau wafat.” [HR Bukhari dan Muslim].

Rasulullah sungguh berbalikan dengan perilaku kebanyakan pemimpin yang justru kekenyangan di tengah rakyat yang kelaparan, tertawa riang di tengah rakyat yang kelimpungan, pamer harta di tengah rakyat yang papa, berekreasi keliling dunia di tengah rakyat yang tiada berdaya, mengoleksi pundi-pundi kekayaan di tengah rakyat yang susah makan. Jeritan rakyat disikapi dengan tutup mata dan telinga. Akal mereka tumpul, hati mereka pingsang, kecuali untuk mendongkrak kekayaan dan popularitas diri.

Tidak banyak pemimpin hari ini yang bersedia menempuh jalan sunyi dan mendaki. Mari bercermin pada kehebatan Rasulullah. Bagi pemimpin sekaliber Rasulullah, meraup harta tentu bukan perkara susah. Kebesaran nama beliau jelas dapat mengundang pundi-pundi harta. Tidak sedikit orang yang menjadikan Rasulullah sebagai ‘sampah’ masalah. Rakyat waktu itu tidak sekadar menyerahkan kerumitan hidup, melainkan juga memasrahkan harta benda untuk disimpan di rumah Rasulullah. Semua rakyat, Muslim atau bukan, telah sepakat dengan sikap amanah Rasulullah.

Rasulullah memang bukan tipologi pemimpin aji mumpung. Beliau ibarat pemimpin yang berada di dalam kolam oli namun sama sekali tidak terciprat oli. Tidak heran, sebagai pemimpin sekaligus penguasa dua Kota Suci, Mekah dan Madinah, beliau justru mengahadap Allah dalam balutan pakaian kasar. Harta yang diwariskan hanya berupa baju besi (dir’un). Itu pun terpaksa digadaikan kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ atau gantang gandum demi menopang biaya hidup keluarga beliau. [HR Bukhari dan Muslim].

Jangan disimpulkan bahwa pemimpin harus miskin. Islam tidak pernah melarang siapa pun untuk menjadi kaya. Banyak pemimpin Islam yang miskin, banyak pula pemimpin Islam yang kaya. Yang dipuji Allah tentu bukan kemiskinan atau kekayaan, melainkan kehebatan pemimpin bersangkutan. Pemimpin hebat tidak diukur dari seberapa melimpah saldo tabungannya, seberapa besar bisnisnya, seberapa megah rumahnya, seberapa mewah kendaraannya, apalagi cuma seberapa banyak istrinya.

Bahkan, pemimpin hebat tidak dapat diukur dari seberapa lama dia memimpin. Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul pada usia 40 tahun. Jika beliau wafat pada usia 63 tahun, berarti beliau secara resmi memimpin umat hanya 23 tahun. Dibandingkan dengan Nabi dan Rasul terdahulu yang berdakwah dan memimpin umat selama ratusan tahun, durasi waktu kepemimpinan Rasulullah tentu sangat singkat. Tetapi, lihatlah hasilnya, dakwah dan kepemimpinan Rasulullah justru sukses luar biasa. Kini, tidak ada manusia di belahan dunia mana pun yang tidak mengenal dan terinspirasi oleh dakwah Rasulullah.

Dengan demikian, kesuksesan seorang pemimpin harus diukur dari seberapa besar perubahan positif yang ditimbulkannya. Tentu butuh modal. Jika belajar pada Rasulullah, terdapat empat modal yang harus dimiliki setiap pemimpin. Keempat modal itu adalah sidik (integrity), amanah (credibility), tablig (accountability), fatanah (brightness). Jika ingin menjadi pemimpin hebat, di level mana pun, wajib mengantongi keempat modal itu, tidak boleh kehilangan salah satunya.

Integritas berarti keterpaduan antara ucapan dan tindakan, janji dan bukti, visi dan aksi, sehingga memancarkan kewibawaan di mata rakyat. Pemimpin berintegritas tidak cuma lihai berjualan muka, tetapi terampil membuktikan karya. Kredibilitas adalah keterpercayaan untuk mengatasi setiap masalah yang mengimpit. Pemimpin kredibel mampu berpikir out of the box, menelurkan terobosan yang belum atau tidak terpikirkan rakyatnya. Akuntabilitas merupakan tanggung jawab untuk menyampaikan informasi secara benar dan transparan. Pemimpin akuntabel berbicara berdasar data dan fakta, bukan dusta dan purbasangka. Kecerdikan bermakna kesanggupan untuk menangkap peluang secara cepat, cermat, tepat. Pemimpin cerdik pasti solutif, tanggap merespons tantangan, tidak ragu, apalagi minder.

Kehebatan lain dari kepemimpinan Rasulullah adalah kedermawanan. Kendati miskin harta, beliau terbukti pribadi yang paling dermawan. Rasulullah sangat ringan hati di tengah hidup serba kurang. Tidak pernah ada peminta datang ke rumah yang tidak beliau kabulkan permintaannya. Rasulullah tidak menyimpan harta kecuali sekadar untuk kebutuhan. Beliau bersabda, “Andaikan aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, niscaya aku tidak suka kalau berlalu sampai lebih dari tiga hari, sekali pun di sisiku tinggal ada sedikit emas, kecuali kalau yang sedikit itu aku sediakan untuk memenuhi hutang yang menjadi tanggunganku.” [HR Bukhari dan Muslim].

Kemiskinan tidak menghalangi beliau untuk membantu kesulitan orang. Terlebih lagi dalam urusan ibadah, Rasulullah benar-benar tidak mengenal istilah pelit atau perhitungan. Kita bisa simak dalam haji wada’ (perpisahan). Seusai rombongan umat Islam kembali dari melempar jumrah Aqabah di Mina, Rasulullah memerintahkan hadyu (penyembelihan hewan kurban). Aturan hadyu, satu ekor domba untuk satu orang dan satu ekor unta untuk tujuh orang. Tetapi, perhatikan, Rasulullah sendiri membawa 100 ekor unta. Beliau menyembelih 63 ekor atau seekor unta untuk satu tahun umur beliau. Yang 37 ekor beliau serahkan kepada Ali bin Abu Thalib untuk disembelih.

Melihat kebobrokan pemimpin sekarang, rasanya sulit mengharapkan seseorang yang mencalonkan sebagai pemimpin bukan karena motivasi ingin kaya. Karena itu, rakyat selalu dihantui pesimisme bahwa meskipun sekian kali pemilihan pemimpin digelar, tidak akan merubah keadaan. Semoga keajaiban segera datang. Hidup akan indah sekiranya lahir pemimpin yang bersedia meneladani Rasulullah. Pemimpin hebat jangan merasa hina karena miskin harta, asalkan kaya karya.

Email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement