REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
Siapa tak kenal istri nabiyullah Ibrahim, Sarah? Beliau seorang wanita mulia yang sangat mempesona dengan kecantikan parasnya sekaligus wanita yang sangat mulia dengan kepribadian budinya. Suatu hari Sarah mendapat ujian keimanannya kepada Allah dan kesetiaannya pada nabiyullah.
Karena dakwah Ibrahim tak diterima di negeri Babilonia, maka ia bersama istrinya Sarah pindah menuju Syam. Namun kemudian Syam dilanda paceklik. Keduanya pun pindah menuju Mesir. Di sanalah ujian Sarah dimulai.
Suatu hari, seorang pejabat istana melihat kedatangan Ibrahim dan Sarah. Sontak pejabat itu menyukai paras cantik Sarah. Ia pun segera menuju istana dan mengabarkannya pada Fir’aun, “Telah datang di negeri Baginda ini seorang pria asing. Ia datang bersama dengan wanita yang sangat menarik. Kecantikannya tak ada yang menandingi. Wanita seperti itu layak menjadi pendamping baginda,” kabarnya.
Maka sang raja pun segera memanggil Ibrahim untuk datang ke istana. Raja yang berkuasa saat itu adalah Fir’aun I yang terkenal sangat dzalim. Sang raja sangat menginginkan Sarah. Jikalau ia tahu Sarah telah bersuami, maka suaminya pasti akan dibunuh agar sang raja mendapatkan wanita cantik itu.
Maka ketika sang raja bertanya kepada Ibrahim, “Siapa wanita itu?” maka Nabi Ibrahim menjawab, “Dia adalah saudariku,” kata nabi. Maka Nabi Ibrahim pun dilepaskan sang raja dan meminta Sarah agar tinggal di istana.
Sepulang dari istana, beliau berkata kepada istrinya, “Wahai Sarah, tak ada yang beriman di muka bumi ini kecuali aku dan kamu. Raja itu bertanya tentangmu dan aku mengatakanbahwa kau adalah saudariku. Kalau ia tahu kau adalah istriku maka ia akan mengalahkanku untuk mendapatkanmu. Dan memang kau adalah saudara perempuanku dalam Islam,” ujar Ibrahim.
Sarah pun segera dibawa ke istana. Hati Sarah berkecamuk. Pakaiannya sangat indah dengan pelayan yang menyediakan kebutuhannya, namun perasaan Sarah sedih bukan kepalang. Ia enggan berpisah denan suaminya dan takut tersentuh Fir’aun yang jahat. Maka Allah lah satu-satunya tempat mengadu dan meminta pertolongan.
Sarah beribadah, sujud dan mengadu kesedihannya. Ia memohon kepada Allah agar melindunginya. “Ya Allah, jikalah Engkau mengetahui bahwa aku beriman kepadaMu dan RasulMu, mengetahui bahwa aku menjaga kehormatanku untuk suamiku, maka janganlah kau jadikan raja kafir itu berkuasa atasku,” pinta Sarah tersedu.
Allah pun mendengar doa Sarah dan mengabulkannya. Acapkali sang raja ingin menyentuh Sarah, tangannya segera lumpuh. Fir’aun tak mampu bergerak. Maka ia pun berkata pada Sarah, “Aku berjanji tak akan mengganggumu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar melepaskan pnyakit ini,” ujarnya.
Lalu Sarah pun kembali berdoa dan sang raja segera sembuh. Namun ia mengingkari janjinya. Ia kembali mendekati Sarah setelah tangannya dapat kembali bergerak. Namun saat hendak memegang Sarah, Fir’aun kembali lumpuh. Ia pun kembali berjanji, “Aku berjanji tak akan mengganggumu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar melepaskan pnyakit ini,” ujar sang raja.
Namun saat sembuh, ia kembali mendekati Sarah. Terus demikian peristiwa itu terjadi. Hingga sang raja pun menyerah. Fir’aun justru akhirnya ketakutan dengan kemampuan benteng diri Sarah. Ia pun menudingnya sebagai makhluk halus yang mampu melakukan tipu daya. Kelumpuhannya dimaknainya sebagai buatan syaitan.
Fir’aun segera memanggil pengawalnya dan berkata, “Kau tidaklah membawa seorang wanita melainkan membawa setan,” serunya. Maka si pengawal pun diperintah membawa kembali Sarah ke rumahnya. Sebelum pulang, raja memberikan seorang budak kepada Sarah sebagai hadiah. Budak itu pun seorang wanita yang cantik, bernama Hajar. Ia lah yang nantinya menjadi istri kedua Ibrahim sekaligus ibunda nabi Ismail. Adapun Sarah merupakan ibunda Nabi Ishaq.
Saat tiba di rumah, Ibrahim pun bertanya kepada Sarah, “Apa yang terjadi?” Lalu Sarah menjawab, “Allah telah menolak tipu daya raja kafir itu dan ia memberiku seorang pelayan wanita,” jawab Sarah.
Demikian kisah Sarah yang mendapat perlindungan Allah. Kisah tersebut dikabarkan oleh Abu Hurairah. Rujuklah Ibnu Katsir dalam kitabnya Qashshashul Anbiya, atau kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalaniy.