REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Sudah lazim Jamaah Haji di samping beribadah baik di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi juga biasa membeli ini itu sebagai oleh oleh untuk keluarga, kerabat, dan handai tolan. Tak jarang kita melihat jama’ah dengan daftar “pesanan” yang panjang.
Hal ini tentu tak menjadi masalah asal tidak dikategorikan isyraf atau berlebih-lebihan. Hadiah yang akan diberikan dimaksudkan untuk menyambung tali silaturahim, wujud rasa cinta dan bersih hati.
Rosulullah SAW menganjurkan kita untuk saling memberi hadiah dan menerimanya sebagaimana disampaikan oleh Siti Aisyah r.’anha “Rosulullah SAW menerima hadiah dan membalasnya” (HR Bukhori). Dalam riwayat lain Beliau SAW bersabda, “Barangsiapa yang ditawari sesuatu tanpa memintanya maka hendaklah menerimanya” (HR Ahmad). Juga Hadis “Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian saling mencintai” (HR Bukhori). Hadis-haadis ini menunjukkan bahwa saling memberi hadiah adalah positif sekaligus menjadi bagian dari nilai tinggi ajaran Islam.
Meskipun memberi adalah proses interaksi manusiawi, akan tetapi kita tak boleh memandang itu hanya sebagai aspek hubungan antar manusia, melainkan hal tersebut adalah karunia atau rezeki yang diberikan Allah. Kebaikan harus berkategori amal sholeh dan itu hanya bisa jika didasarkan pada iman.
Iman mengajarkan bahwa pemberian manusia adalah rezeki yang patut untuk disyukuri. “Barangsiapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah ia menerimanya karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadanya” (Hadits shahih At Targhib). Karenanya harus disyukuri.
Hadiah yang sudah diberikan tak boleh diminta kembali tentunya karena Rosulullah SAW melarangnya “Sesungguhnya orang yang mengambil kembali barang yang telah dihadiahkan bagaikan seseorang yang muntah lalu menelan kembali muntahnya” (HR Bukhori-Muslim).
Lalu bagaimana dengan hadiah yang dimaksudkan untuk balasan hal hal yang pragmatis seperti agar naik jabatan atau dimutasi ke tempat yang “basah”, untuk memenangkan tender, anak mudah masuk sekolah, diputus ringan atau bebas oleh Hakim, ditolong masuk kerja, atau untuk mendapatkan fasilitas fasilitas bisnis ? Nah hadiah seperti inilah yang dapat dikualifikasikan sebagai “risywah” yang dihukumkan haram. Rosulullah jauh jauh sudah mencegah agar sahabat tidak menerima hadiah yang dikaitkan dengan tugas atau jabatan.
Ibnu Luthbiah ditugaskan mengumpulkan zakat. Kemudian ia bekerja dengan amanah dan zakatpun banyak terkumpul. Ia melapor kepada Rosulullah akan hasil kerjanya. “Ya Rosulullah, inilah zakat yang aku kumpulkan dan ini ada hadiah yang diberikan kepadaku dari orang yang senang dengan kerjaku”. Rosulullah SAW menjawab “zakat yang kau kumpulkan masukkan ke Baitul Mal, sedangkan hadiah yang diberikan kepadamu kembalikan!”
Tentu Ibnu Luthbiah heran sebab orang yang memberi hadiah tidak bermasud apa-apa dengan pemberian hadiah itu. Keheranan inilah yang dijawab Nabi “Apakah engkau mendapat hadiah itu ketika engkau sedang berada di rumah ibumu?” Tentu tidak, hadiah diberikan saat melaksanakan tugas.
Sikap Nabi adalah tindakan preventif untuk menjaga mentalitas bersih para aparat. Agak bertolak belakang dengan situasi kita sekarang. Banyak orang mencari bahkan berani “membeli” jabatan yang pada jabatan itu terbuka peluang untuk mendapatkan banyak hadiah.
Di samping hal diatas ada pula bentuk hadiah lain sebagaimana dikisahkan dalam riwayat ini.
Al-Asy’ats bin Qais dan Jarir bin Abdullah datang menemui Salman Al Farisi di Khush. Ketika diterangkan mereka datang dari tempat Abu Ad Darda, Salman yang oleh Rosulullah SAW dipersaudarakan dengan Abu Ad Darda ini bertanya: “Mana hadiahnya ?”.
Kedua orang itu bingung lalu menjawab:” Kami tidak membawa hadiah apapun, wahai Salman”. Dengan rasa tidak percaya Salman berkata lagi: “Bertakwalah kepada Allah, tunaikan amanat, setiap orang yang datang dari Abu Ad Darda lalu menemuiku selalu membawa hadiah !”. Karena semakin tak mengerti mereka lalu berkata lagi “Jangan mempertanyakan itu, kami masih punya harta, jika engkau mau ambillah!”
Salman tetap menginginkan pada hadiah yang mereka bawa. Ketegangan memuncak. Mereka bersumpah tidak membawa hadiah apa-apa, kata mereka Abu Ad Darda hanya mengatakan “Di tengah kalian ada seorang laki-laki yang apabila Rosulullah SAW sedang berdua dengannya beliau tidak mencari yang lainnya. Jika kalian menemuinya, sampaikan salamku !”
Setelah mendengar pesan itu Salman baru berkata, “Itulah hadiah yang kalian bawa yang aku inginkan! Adakah hadiah yang lebih mulia dari pada salam?”
Dengan kisah ini maka jelas disamping hadiah menghadiahi dalam bentuk barang, juga yang lebih berharga bagi seorang muslim adalah hadiah salam. Maka tebarkanlah salam!