REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) angkat bicara terkait semakin tingginya angka perceraian di Indonesia. Menurut Juru Bicara Muslimah HTI, Iffah Ainur Rochmah salah satu penyumbang tingginya angka perceraian di Indonesia adalah semakin menyebarnya paham kesetaraan gender yang berkembang di kalangan wanita Indonesia.
"Dengan kesetaraan gender ini, kaum perempuan cenderung independen dan tidak memerlukan kehadiran pria dan tidak membutuhkan pernikahan," katanya dalam rilis kepada Republika, Senin (16/9).
Terlebih ketika perempuan bisa mendapatkan uang sendiri. Keamanan finansial ini juga seringkali menghantar pada gugat cerai ketika ada masalah dalam pernikahan. Selain itu, faktor lain yang juga memberi sumbangsih yang besar atas gagalnya perkawinan. Seperti kekerasan dalam rumah tangga oleh suami karena masalah ekonomi, atau tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga.
Menurut Iffah, faktor lainnya adalah gempuran gaya hidup hedonistis.' Kehidupan hedonisme yang serba mewah dan berkecukupan materi ini, jelas dia, menuntut pola hidup berlebihan diluar batas kemampuan. Dan dampak lingkungan membuat wanita lebih individualistik.
Iffah mengatakan jumlah perceraian adalah wajah sejati masyarakat yang kapitalistik sebagaimana yang terjadi di Indonesia hari ini. "Alih-alih menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab mengayomi dan memenuhi kebutuhan, kaum laki-laki malah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan lemah tanggung jawab penafkahan," katanya.
Padahal pemenuhan kebutuhan harian, biaya pendidikan dan kesehatan makin melangit. Kemiskinan, dan minimnya lapangan kerja juga hasil dari kapitalisme. Kondisi keluarga makin diperburuk oleh buah busuk ide-ide liberal seperti kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI, Nasaruddin Umar dalam kesempatannya membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhir pekan lalu mengatakan, Kemenag mencatat 212 kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya. "Angka tersebut jauh meningkat dari 10 tahun yang lalu, yang mana hanya sekitar 50 ribu per tahun," katanya.
Ini fenomena yang sangat prihatin dengan tingginya angka perceraian tersebut. Apalagi, hampir 80 persen yang bercerai merupakan rumah tangga usia muda. Usia rumah tangga mereka relatif masih muda, dengan anak yang masih kecil. Hal ini, menurut Wamenag, akan menimbulkan dampak sosial lainnya.