REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Menepati janji merupakan sifat para nabi.
Janji merupakan fenomena lumrah yang berlaku di masyarakat. Tiap orang dengan beragam profesi dan latar belakang kerap membuat janji. Ada janji untuk pertemuan, janji terkait dengan batas waktu kesepakatan transaksi, atau janji-janji lainnya yang bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, kata Dr Muhammad Musa Syarif dalam bukunya yang berjudul Dhahirat at-Tahawun bi al-Mawa’id: Asbab-al-Musykilat-al-‘Ilaj, pada praktiknya sering kali janji tersebut tidak ditepati.
Pertemuan yang telah ditentukan pada waktu tertentu, ternyata meleset dan molor, bahkan batal akibat tidak ditepatinya janji. Padahal, urusan janji tak cuma soal penentuan waktu antara kedua belah pihak, tetapi bisa jadi pula menyangkut hajat orang lain. Ketidaktepatan janji bisa merugikan banyak orang. Dan, sering pula pembatalan janji itu dilakukan sepihak dan tanpa konfirmasi apa pun. “Ini jelas tak sesuai dengan prinsip Islam,” tulis Musa.
Seharusnya, tepat waktu dan menepati janji menjadi karakter utama Muslim. Ia pun memberikan contoh bagaimana konsistensi Nabi Ismail AS dalam membuat dan menepati janji. Putra Ibrahim AS tersebut pernah menunggu seseorang yang tak kunjung tiba selama hingga tiga hari terus-menerus. Ketepatan Ismail memenuhi janji tersebut, diabadikan dalam Alquran surah Maryam ayat ke-54.
Konsistensi memenuhi janji pertemuan, misalnya, dicontohkan pula oleh Rasulullah SAW. Ini seperti yang dikisahkan Abdullah bin Ubai al-Hamsa’. Saat itu, ia hendak berbait kepada Rasul dan menentukan lokasi pertemuan. Tanpa disengaja, Abdullah bin Ubai lupa lokasi persis pertemuan itu hingga tibalah di hari ketiga dan akhirnya bertemu di tempat semula yang telah ditetapkan. Rasul pun menegur Abdullah bin Ubai, “Wahai pemuda, Engkau telah memberatkanku, saya di sini tiga hari menunggu Anda,” sabda Rasul.
Komitmen untuk menepati janji juga dicontohkan oleh para generasi salaf. Mereka berusaha maksimal agar tidak melanggar ataupun menyepelekan janji. Suatu ketika, Ibnu Abd ar-Rabbi al-Qashab pernah menjanjikan Muhammad bin Sirin untuk membelikan hewan kurban di batas waktu tertentu dan lantas al-Qashab lupa. Ketika ingat, ia pun bergegas menemui Ibnu Sirin siang hari dan meminta maaf.
Dan, tak diduga Ibnu Sirin telah menunggunya. Al-Qashab meminta maaf dan ia mendengar jika Ibnu Sirin sudah tak sabar lagi menunggu, lalu akhirnya beranjak pergi dari rumah. Ibnu Sirin pun mengatakan bahwa hal itu tidak akan ia lakukan. “Sekalipun engkau datang malam hari maka aku tak akan tinggalkan tempat dudukku, kecuali untuk shalat atau buang hajat,” katanya.
Selain itu, Musa memaparkan beberapa sebab munculnya ketidaktaatan pada janji, antara lain, minimnya kesadaran akan tuntunan Islam. Bahwa, melanggar dan tidak menepati janjit, seperti ditegaskan di hadis riwayat Bukhari, adalah tanda-tanda kemunafikan. Faktor pemicu inkonsistensi janji, sifat tak acuh dan tak bertanggung jawab, tidak prioritas dan kurang fokus, kurang akrab dengan media pengingat agenda, dan lain sebagainya.
Solusinya, kata Musa, perlu pembiasaan dan pendisiplinan diri sendiri, antara lain, melalui penggemblengan spiritual yang bersangkutan, bagi pihak yang tak tepat waktu, mudah ingkar janji, maka tak perlu berbasa-basi lagi. Sampaikan saja masukkan Anda. Bila dibiarkan, justru akan menjadi momok di kemudian hari.
Bila diperlukan, jatuhkan sanksi edukatif. Ini seperti diperlihatkan oleh para dosen di Universitas Al-Azhar Kairo. Mahasiswa yang datang terlambat tidak diperbolehkan masuk ruang kelas. Sebaliknya, berikan apresiasi kepada mereka yang komitmen dan konsisten pada janjinya.
Usahakan mencontoh sosok yang disiplin dan komitmen terhadap janjinya. Ini seperti dilakukan oleh Imam as-Syaukani. Pengarang kitab Nail al-Authartersebut menaruh hormat luar biasa kepada sang guru, yakni Imam al-Khada’i. Sang guru tersebut tidak akan pernah melewatkan jam mengajar walau hujan menerpa. Pernah suatu ketika hujan turun hampir tiap hari dari subuh hingga pagi, sedangkan ba’da shalat Subuh ada jam pengajian. Namun, Imam al-Khada’i tetap datang ke taklim karena bagaimanapun bagi sang guru hujan bukan halangan bila ada janji.
“Maka, tepatilah janji Anda,” imbau Musa. Karena dengan menepati janji itu, setidaknya telah mengikuti salah satu sunah para nabi, seperti yang disebutkan hadis riwayat Abu Sufyan.