Rabu 04 Sep 2013 10:24 WIB

Mohammad Natsir: Sang Pembaru Dunia Islam

Mohammad Natsir
Foto: blogspot.com
Mohammad Natsir

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa

M Dzulfikriddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia mengatakan bahwa Natsir telah mengkhidmatkan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari pendidikan, hingga dia pantas disebut sebagai salah seorang tokoh pendidikan Islam.

Dia juga aktif dalam bidang politik dan memegang posisi puncak parpol dan kenegaraan sehingga Natsir pun diakui sebagai politikus dan negarawan besar. Terakhir, dia aktif dalam bidang dakwah sampai akhir hayatnya sehingga dia pun mendapat julukan sebagai panglima dakwah.

 

"Natsir merupakan seorang pemikir dalam politik Islam serta cendekiawan yang sangat peduli pada dakwah dan pembinaan umat. Ia merupakan pakar agama dan filsafat, sosial kemasyarakatan, pendidikan Islam, kebudayaan Islam, serta pakar dunia Islam," ujar Dzulfikriddin.

 

Senada, Tarmizi Taher mengatakan, Natsir adalah salah satu di antara sedikit manusia Indonesia yang multidimensional dan begitu kompleks. Ia adalah seorang pemikir dan pembaru pemikiran dan pengamalan Islam. Ia seorang intelektual Muslim yang akrab dengan berbagai wacana pemikiran, baik warisan pemikiran Islam maupun Timur dan Barat.

 

Tak hanya itu, Natsir  juga seorang nasionalis sejati yang terlibat langsung dalam upaya pencapaian dan pembinaan kemerdekaan bangsa. Ia merupakan seorang aktivis organisasi yang bergerak sejak dari Jong Islamiten Bond (JIB), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Islam (Persis), Partai Masyumi, sampai pada Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). M Natsir juga sosok atau tokoh internasional yang turut mengangkat harkat negara dan bangsa di mata dunia.

 

"Ia adalah politisi dan demokrat sejati yang selalu berteguh hati memperjuangkan keyakinan politiknya secara konstitusional dan demokratis. Akan tetapi, ia juga seorang dai dengan kepedulian pokok membela dan menyelamatkan akidah umat dari berbagai ancaman. Melihat aspek kepribadian dan sosok M Natsir ini, untuk memahaminya secara benar dan akurat, kita harus mempertimbangkan dimensi pemikiran dan kiprahnya," ujar Tarmizi.

 

Pemikiran Natsir dijabarkan lengkap oleh Thohir Luth dalam bukunya, M Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. Dalam bidang politik, gagasan politik Natsir memperlihatkan ciri-ciri pemikiran modernisme Islam. Gagasan ini telah terlihat sejak pertama kali dilontarkan Natsir muda pada awal 1930. Pemikiran Natsir pada masa muda memperlihatkan corak mempertahankan Islam dari berbagai serangan yang menyudutkannya.

 

"Tampaknya Natsir mengambil bagian dalam aktivitas politik dalam rangka membela Islam dari upaya-upaya orang yang hendak memojokkannya. Dengan gerakan politik ini, M Natsir ingin melaksanakan amar makruf nahi mungkar demi tegaknya Islam," ujar Thohir.

 

Istilah modernisasi politik Islam digunakan Natsir untuk mewakili sikap dan pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung di dalam Alquran dan sunah Nabi serta menyesuaikannya dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat manusia. Dengan istilah politik seperti itu, Natsir mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam. Konsekuensi logis dari pernyataannya itu pun, Natsir membuktikan dirinya berjuang sebagai pemimpin parpol Islam, Masyumi.

 

Sejarawan Anhar Gonggong dalam “Tragedi di tengah Krisis Transisional”, dalam buku M Natsir di Panggung Sejarah Republik, menggambarkan pemikiran Natsir dalam politik. Natsir menganggap dalam berpolitik jangan oportunis. Berpolitik itu harus ada landasan etiknya. Landasan etik harus didirikan dulu, jangan sesuai mana yang enak. Berpolitik harus didampingi dengan landasan etika yang benar.

 

Adapun dalam bidang dakwah, gerakan dakwah Natsir disebut telah meneladani Rasulullah. Porsi politik dan dakwahnya menonjol secara berimbang. Kekuatan politik dan dakwah menjadi upayanya menuju amar makruf nahi mungkar.

 

Konsep dakwah Natsir terlihat jelas dalam karya monumentalnya yang bertajuk, Fighud Dakwah. Dalam buku tersebut sarat konsepsi pandangannya tentang dakwah Islam. Natsir memaknai Islam merupakan agama dakwah. Dakwah dalam arti amar makruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat.

 

Menurut Thohir, Natsir mengelaborasi pengertian dakwah Islam lebih pada soal teknis penyampaian pesan dakwah Islam. Kegagalan melakukan dakwah Islam di panggung politik menjadi pengalaman dirinya untuk lebih jeli terhadap masalah teknis penyampaian dakwah Islam yang semula kurang diperhitungkan.

 

Manfaat besar

Dengan pemikiran-pemikiran tersebut, Natsir memberikan manfaat bagi negara dan umat Islam. Banyak yang telah dilakukan Natsir yang telah membawa pembaruan di beberapa aspek. Namun sayangnya, sosok Natsir jarang diketahui masyarakat Indonesia. Mengingat namanya sangat minim disebut dalam pelajaran sejarah.

 

M Dzulfikriddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia pun menyayangkan hal tersebut. Ia mengatakan, perjalanan kehidupan dan perjuangan Natsir yang penuh warna emas ternyata tak tertoreh berimbang dalam sejarah Indonesia. Namanya ditulis kecil dalam buku pelajaran sejarah, bahkan tak sedikit yang menggambarkan sosoknya dengan perspektif yang picik dan sempit. "Padahal sesungguhnya, pengaruh Natsir sangatlah besar. Walaupun dia sudah lama menghadap Sang Maha Pencipta, pengaruh Natsir bagai tak pernah mati," ujarnya.

Memang pernah terjadi tragedi sejarah yang menyudutkan Natsir dan menghasilkan banyak pertanyaan sejarah mengenai alasan sebenarnya di balik maksud Natsir. Tragedi tersebut terjadi ketika Natsir bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dituding telah memberontak kepada Pemerintah Sukarno.

 

Namun, mengutip pendapat Burhan D Magenda dalam “Tiga Periode Natsir” pada buku M Natsir di Panggung Sejarah Republik", ia menuturkan, sebenarnya dalam PRRI itu ada tuntutan otonomi daerah. Itu baru terwujud dalam era reformasi. Presiden BJ Habibie melahirkan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan. "Kalau undang-undang tersebut lebih dulu lahir, mungkin bisa dicegah lahirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)," katanya.

 

Setelah banyak kiprah yang ditorehkan Natsir,  ia baru ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2008 lalu. Padahal, usulan penetapan Natsir menjadi pahlawan sudah pernah disampaikan oleh Menteri Sosial Mintardja pada awal 1970. Namun, keppres itu baru lahir bersamaan dengan peringatan 100 tahun M Natsir. Penetapan tersebut dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 41/TK/Tahun 2008.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement