REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Kusnandar SThI
Suatu hari Rasulullah SAW tengah tidur beralaskan pelepah kurma. Sehingga bekasnya terlihat di badan beliau. Sahabat Umar bin Khathab datang mengunjunginya. Ketika Umar melihat keadaan Nabi SAW demikian Umar menangis.
Kemudian Rasulullah bangun, “Mengapa engkau menangis?” Tanya Rasulullah SAW kepada Umar bin Khathab.
“Aku ingat kaisar dan kekuasaannya, sedangkan engkau adalah utusan Tuhan. Tetapi engkau hanya tidur beralaskan tikar.” jawab Umar sembari menangis.
“Apa engkau tidak ridha jika mereka memiliki dunia, sedangkan kita memiliki akhirat,” sabda Rasulullah SAW tegas.
Maka turunlah ayat ke-20 surat Alinsan, “Dan apabila engkau melihat keadaan di sana (surga), niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.”
Suatu ketika sepulang dari medan peperangan. Rasulullah dan para sahabatnya, disambut bahagia oleh kaum muslim di Madinah. Seorang penjual air hendak menyalami tangan Rasulullah, tapi Nabi SAW menolaknya. Jusru Nabi sendiri yang mengambil tangannya. Saat bersentuhan, Nabi merasakan hal aneh pada tangannya. Lalu Nabi SAW melihat tangannya sangat kasar sekali.
“Kenapa tanganmu kasar sekali?” Tanya Nabi Muhammad. “Pekerjaan saya membelah batu setiap hari, wahai Rasulullah,” jawabnya. “ Lalu pecahan batu itu saya jual ke pasar dan uangnya saya gunakan untuk menafkahi keluarga,” sambungnya.
Kemudian Rasulullah mencium tangan penjual air itu sembari berkata,” inilah tangan yang tak akan pernah disentuh api neraka selama-lamanya.”
Melihat kisah di atas yang mencerminkan kesederhanaan dan kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada rakyatnya, kita ingin menangis seperti sahabat Umar bin Khathab. Menangis karena haru dan rindu. Haru, karena sangat langka manusia seperti beliau di permukaan bumi ini. Padahal beliau adalah kepala negara dan utusan Tuhan. Sebagai kepala negara tentunya beliau bisa hidup bergelimangan harta.
Rindu, karena kita berharap ada pemimpin, pejabat dan politisi di negeri ini menjadikan Rasulullah sebagai teladan. Pemimpin yang hidupnya asketis, yakni yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, kerelaan berkorban, tidak menumpuk kekayaan, serta pemimpin yang merasakan penderitaan, beban dan kesulitan rakyatnya.
Kita rindu pemimpin yang menegakan hukum tanpa pandang bulu. Pejabat yang adil dan bijaksana. Hubungan pemimpin dengan rakyatnya harusnya seperti diilustrasikan Rasulullah, sebagai pengembala ternak yang setiap saat harus melindungi gembalaanya.
“Setiap kalian adalah pengembala (pemimpin), dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pengembalaannya (kepemimpinannya),” seru Nabi SAW. (HR Bukhori, Muslim)
Di Indonesia, keserakahan para pejabat merajalela. Praktik KKN dan suap marak. Para pejabat tanpa merasa malu melakukan korupsi miliaran rupiah, memanipulasi dan membohongi rakyat. Uang rakyat yang dikumpulkan rakyat untuk membangun Negara, malah dirampok wakil rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya. Ironinya, perilaku borok tersebut justru dilakukan oknum berpendidikan tinggi. Sungguh terlalu!
Dengan petikan kisah di atas, kita dapat mengambil hikmahnya dan berharap para pemimpin negeri ini, dan para wakil rakyat baik di tingkat pusat hingga daerah, menjadi pemimpin asketis, serta menjadikan Rasulullah sebagai teladan. Aamiin.