Senin 05 Aug 2013 12:24 WIB

UU Kebebasan Agama Resahkan Muslim India

Rep: Agung Sasongko/ Red: Mansyur Faqih
Muslim India berbuka puasa di pelataran Masjid Jama, New Delhi, India.
Foto: AP PHOTO/Manish Swarup
Muslim India berbuka puasa di pelataran Masjid Jama, New Delhi, India.

REPUBLIKA.CO.ID, MADHYA PRADESH -- Komunitas Muslim dan Kristen negara bagian Madhya Pradesh mengecam pemberlakuan undang-undang terkait konversi agama yang baru. Yang menjadi masalah bagi kedua komunitas agama ini, setiap individu yang berniat konversi agama harus mendapat persetujuan dari negara setidaknya satu bulan sebelum berpindah agama.

"Ini bentuk pelanggaran HAM. Setiap individu bebas menerima agama apa pun," komentar Ausaf Shahmiri Khurram, Presiden Komite Muslim India (AIMFC), seperti dikutip onislam.net, Senin (6/8).

Menurut Ausaf, bagaimana bisa pemerintah menghalangi hak dasar seseorang menerima agama pilihan mereka. Ini benar-benar bertentangan dnegan konstitusi India. Undang-undang yang disahkan 1968 ini diamandemen terkait pasal konversi. 

DPR lalu menyetujui amandemen beberapa hari lalu. Ironisnya, ketika UU Kebebasan Beragama diamandemen justru melahirkan pasal yang mempersulit proses konversi. Yaitu, mereka yang dikonversi wajib memberitahu pejabat pemerintah setelah konversi. 

"Kewajiban yang sama juga berlaku bagi pemuka agama. Pemberitahuan itu disampaikan melalui aplikasi yang menyertakan rincian tempat dan tanggal konversi lalu dikirimkan kepada kantor distrik hakim sebulan sebelum konversi," kata undang-undang itu.

Diatur juga, jika mereka yang dikonversi belum dewasa atau anggota kasta, maka yang bersangkutan akan dikenakan hukuman penjara hingga empat tahun dan denda 100 ribu rupee. "Kami melakuakn perubahan ini guna menghindari konversi yang disertai kekerasan atau rayuan. Ada pihak yang menawarkan uang dengan syarat berpindah agama," kata Menteri Dalam Negeri Negara Bagian Madhya Pardesh, Umashankar Gupta. 

Ketua Federasi Kristen India, Anand Muttunggal menilai memilih agama merupakan kebebasan individu. Undang-undang ini dipandang sebagai kepentingan pihak tertentu dengan tujuan tertentu pula. "Tidak ada yang rasional dibalik membawa perubahan ini," kata Muttungal. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement