REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
Kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan Islam ialah manifestasi rasa, karsa cipta, dan karya manusia dalam mengabdi kepada Allah.
Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta, Negeri 5 Menara, 99 Cahaya Langit Eropa, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, dan Hafalan Shalat Delisa merupakan contoh beberapa novel fiksi Islami yang beberapa waktu terakhir menjadi bestseller di Indonesia. Sebagiannya bahkan difilmkan di layar lebar.
Namun, novel hanyalah satu dari beragam jenis karya sastra. Pada masa lalu, sastra bernapaskan Islam lebih mendapat tempat dalam perkembangan masyarakat. Sastrawan Muslim mengambil banyak bagian dalam sejarah sastra Indonesia. Sebut saja, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Hamka.
Sastra, menurut Panuti Sudjiman, merupakan karya lisan atau tulisan yang memiliki beragam ciri unggul, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya. Ahmad Badrun memaknai kesusastraan sebagai kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol sebagai alat dan bersifat imajinatif. Di dalam bahasa Arab, sastra adalah adab yang bermakna pada kebudayaan, sopan santun, dan tata krama.
Lalu, bagaimana dengan sastra Islam, apa maknanya? Hingga kini, masih menjadi polemik yang diperdebatkan. Sebagian menyangkal adanya sastra Islam, kecuali sastra bernapaskan Islam saja. Sebagian mengatakan sastra Islam itu eksis yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Sastrawan Muslim pun tak terang menyebut karya mereka sebagai sastra Islam meski kandungan isinya sangat bernapaskan Islam. Masing-masing sastrawan menyebut sastra bernapaskan Islam dengan beragam nama, di antaranya, sastra sufi, sastra zikir, dan sastra pencerahan.
Helvy Tiana Rosa dalam Segenggam Gumam menuturkan, selama ini para sastrawan memang masih menyebut sastra Islam secara terselubung. Taufik Ismail menyebutnya dengan sastra zikir, Kuntowijoyo menggunakan istilah sastra profetik, Danarto menggunakan istilah sastra pencerahan, M Fodoli Zaini menyebutnya sebagai sastra yang terlibat dengan dunia dalam. Sementara, Sutardji Calzoum Bachri memberi istilah sastra transenden dan Abdul Hadi WM mengistilahkan sastra sufistik untuk karya-karya mereka yang berakar dari wacana keimanan atau religiusitas yang dibawanya.
“Namun, selain Abdul Hadi WM, tak satu pun sastrawan di atas yang mengidentikkan penyebutan mereka dengan sastra Islam,” ujar novelis pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) tersebut.
Pada 1963, terdapat pertemuan seniman Muslim di Jakarta yang mengeluarkan deklarasi Manifes Kebudayaan dan Kesenian. Dipimpin Djamaludin Malik, seluruh seniman yang hadir sepakat kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia Muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan umat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia yang dihasilkan oleh para seniman Muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani.
Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik mengungkapkan beragam permasalahan mengenai makna sastra Islam. Belum jelas makna sastra Islam itu apakah sastra yang mendukung nilai Islam ataukah sastra yang mengacu pada Alquran dan hadis, ataukah sastra yang mengungkapkan ketauhidan. Namun, Liau memaknai sastra Islam secara sederhana, yakni sastra mengenai Muslimin dan segala amal saleh. Ia mengutip pendapat Roolvinck yang membagi sastra Islam menjadi lima jenis, yakni cerita Alquran, cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Rasulullah, cerita pahlawan Muslim, dan sastra kitab.
Dari Melayu
Menurut Liaw, awal perkembangan sastra Islam di nusantara banyak diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Sumber mulanya pun berasal dari Arab dan Parsi. Menurutnya, terdapat dua kelompok sastra Islam Melayu tersebut, yakni karya berupa kitab agama yng dimaksudkan sebagai sarana belajar Islam bagi orang Melayu. Kelompok kedua, yakni karya India Muslim yang memang bertujuan hiburan. Fase awal, sastra Islam Melayu hanya merupakan saduran. Cerita Alquran menjadi karya favorit dari sastrawn Al Kisai.
Dr Abdul Hadi WM dalam artikelnya, “Sastra Islam Melayu Indonesia”, menyatakan era awal sastra Islam bermula dengan munculnya karya terjemahan karya sastra Arab dan Parsi ke dalam bahasa Melayu. Saat itu, juga bersamaan dengan munculnya kerajaan Islam pertama nusantara, yakni Samudera Pasai dan Malaka. Beberapa contoh karya terjemahan tersebut, misalnya, Kisah-Kisah Para Nabi atau Qisas al-Anbiya’, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Seribu Satu Malam.
Meski yang ternama merupakan sastra Islam dari Melayu, bukan berarti tak ada karya yang berbahasa Jawa, Bugis, Sunda, Madura, dan etnis lain nusantara. Menurut Abdul Hadi WM, meski pada perkembangannya karya keislaman juga muncul dalam bahasa nusantara lain, karya Melayu tetap memiliki kedudukan istimewa sebagai wadah ekspresi estetik Islam.
Ketika Islam telah tersebar luas di nusantara, sekitar akhir abad ke-16, sastra Melayu mencapai puncaknya. Banyak sastrawan ternama yang lahir pada era itu, di antaranya, Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Bukhari al-Jauhari, dan Syamsudin Sumatrani. Bukan sekadar sastrawan, mereka pada umumnya juga merupakan seorang ulama terkenal.