REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Kepiawaiannya di dunia tarik suara melegenda seantero Tanah Haram.
Di sejumlah kitab sejarah biografi, namanya nyaris tak tercatat. Bias gender di abad pertengahan memang cukup kentara. Namun, tengoklah di literatur seni dan musik. Nama Jamilah el-Madina cukup melegenda di Tanah Haram, Madinah, semasa Dinasti Umayyah berjaya.
Abu al-Faraj al-Ashfahani dalam kitabnya Al-Aghani menyebutkan, Jamilah lahir dari keturunan hamba sahaya di bawah kekuasaan Bani Sulaim. Suaminya ketika itu juga berasal dari golongan yang sama. Yakni, budak Bani al-Harits bin al-Khazraj.
Jamilah memang lahir dari kalangan budak, tetapi semua mata memandang hormat kepadanya. Suaranya merdu dan kemampuan bermusiknya lihai. Sejak namanya meroket di bidang seni tarik suara, tempat tinggalnya yang berada di Madinah menjelma menjadi markas besar para musisi dan biduwan terkemuka seantero Tanah Hijaz ketika itu.
Ada Ibnu Muhriz, Ibnu Suraij, Ma’bad, el-Gharidh, dan Umar bin Abu Rabi’ah. Mereka bertukar ilmu dan pengalaman serta belajar mengaransemen dan mengomposisi musik. Prestasi yang membelalakkan mata dan membuat guru Jamilah, Saib Khair, tertegun. Selama Jamilah belajar, Saib memang membaca baik potensi muridnya itu. Terutama, dari segi modal suara dan insting bermusiknya yang tinggi.
Pengakuan atas kualitas Jamilah datang dari berbagai kalangan. Para musisi senior mengapresiasi capaian sosok perempuan yang wafat pada 102 H itu. Al-Muhrizi menyebut Jamilah sebagai satu-satunya sosok perempuan yang serba tahu tentang seni tarik suara. Bagi Ma’bad, musisi ternama di Madinah pada periode itu, sosok Jamilah berperan penting dalam pengembangan seni musik dan olah vokal di Madinah dan sekitarnya. Bahkan, pengaruhnya meluas di Jazirah Arab.
Menurut Ma’bad, Jamilah adalah akar bermusik, sedangkan para musisi selain dirinya hanya laksana cabang. “Dia (Jamilah) adalah akar bermusik, sedangkan kita hanya rantingnya,” ujarnya. Ma’bad juga mengatakan tanpa kontribusi dan warisan berharga Jamilah, akan minim para biduan di kawasan ini. Apresiasi serupa juga datang dari Musallamah bin Muhammad ats-Tsaqafi. Publik sepakat Jamilah adalah kiblat bernyanyi, tak ada keraguan. Baik orang Makkah atau Madinah mengakuinya.
Jenius
Seandainya, kisah yang disampaikan oleh sejarawan klasik, Ishaq, benar maka cukuplah cerita itu menakar perihal kejeniusan Jamilah dalam bermusik. Persinggungannya dengan musik berawal dari kejadian sederhana. Semua bermula lantaran dirinya dan sang guru, Saib Khair, saling bertetangga. Rumah keduanya berdampingan. Tiap hari Jamilah mendengarkan lantunan “oud”, serupa gitar klasik khas gurun pasir, yang dimainkan Saib.
Awalnya, Jamilah tak memahami tiap petikan senar yang menghasilkan nada itu. Ia pun memutuskan untuk mencatat nada-nada oud yang dicetuskan Saib. Lambat laun, terkumpullah sejumlah nada itu. Ia berinovasi dan mengkreasikannya sendiri. Tiap nada-nada yang tercecer itu ia susun kembali dengan instingnya. Secara otodidak, setelah nada itu tersusun, mulailah ia dendangkan lagu.
Berangkat dari coba-coba, secara tak sengaja teman sejawatnya mendengar suara sang biduan. Tersebarlah kabar soal kelihaian Jamilah menyanyi. Hingga suatu kesempatan, para sahabat Jamilah mendesaknya agar berkenan mendendangkan satu lagu. Ia tak bisa mengelak. Sambil meminjam syair yang ditulis oleh Zahir bin Abi Salma, Jamilah memanjakan mereka dengan suara merdunya.
Tiap kali ku mengingatmu hanya kecintaan yang timbul, sesungguhnya kekasih itu terkadang melampaui batas.
Komunitas pegiat dan pecinta musik pun terbentuk di bawah pengaruh Jamilah. Ia mendirikan orkestra yang terdiri atas 50 perempuan dengan iringan kecapi. Ia juga mengorganisasi Musisi Haji (Mussical Hajj) yang terdiri atas berbagai elemen musisi, seniman, dan biduan.
Selain menyalurkan bakat bernyanyi yang dimilikinya, Jamilah tak segan berbagi ilmu dengan berbagai lapisan masyarakat. Dedikasinya itu pun terus berlanjut hingga akhir hayatnya.