REPUBLIKA.CO.ID, Lebih dari seabad Muhammadiyah eksis di tengah umat Islam Indonesia. Tentu banyak tokoh cendekiawan Muslim yang dilahirkan oleh organisasi Muslim sebesar Muhammadiyah.
Selama perjalanannya membenahi kondisi Muslimin Indonesia, Muhammadiyah pun dipimpin banyak tokoh besar. Salah satu di antaranya Ki Bagus Hadikusumo. Dia memimpin ormas berlambang matahari tersebut dari 1944 hingga 1953.
Dia lahir pada 11 Rabiul Akhir 1038 Hijriyah atau 24 November 1890 di Kauman, Yogyakarta. Saat lahir, ia bernama R Hidayat. Lingkungan keluarganya layaknya pesantren. Kedua orang tuanya pun merupakan pengajar agama. Sang ayah, Raden Haji Lurah Hasyim, merupakan abdi dalem putihan agama Islam di Keraton Yogya. Maka, tak heran jika sejak lahir, Ki Bagus telah dididik agama dengan baik. Apalagi, ia juga biasa dikelilingi para kiai di Kauman.
Riwayat pendidikan Ki Bagus lebih banyak fokus di bidang agama. Ia belajar di Sekolah Ongko Loro, kemudian di Pesantren Wonokromo Yogyakarta. Di pesantren inilah Ki Bagus mendapat pelajaran kitab- kitab agama, terutama di bidang fikih dan tasawuf. Adapun riwayat sekolahnya, Ki Bagus hanya mengenyam sekolah rakyat. Kendati demikian, ia tumbuh besar menjadi pemuda cerdas dan fakih dalam agama. Semakin banyak usianya yang dia habiskan di pesantren membuat Ki Bagus tercetak sebagai seorang alim ulama. Sejak itulah, ia pun terjun ke masyarakat, berdakwah, dan ikut membangun bangsa melalui Muhammadiyah.
Jiwa kepemimpinan memang telah melekat dalam jiwa Ki Bagus. Sebelum memimpin Muhammadiyah, ia pernah menjadi ketua Majelis Tabligh pada 1922. Empat tahun berikutnya, dia menjadi ketua Majelis Tarjih. Baru kemudian pada 1942, ia menjadi ketua PP Muhammadiyah. Saat itu, sebenarnya Ki Bagus me rasa berat mengemban tugas tersebut. Namun, kongres pada 1937 memutuskan untuk memilihnya se ba gai pemimpin. Ia pun tak kuasa menolak. Apalagi, saat itu, Mu hammadiyah memang tengah membutuhkan sosok pemimpin tegas seperti Ki Bagus.
Dalam artikel biografinya di halaman web resmi Muhammadiyah disebutkan, munculnya Ki Bagus sebagai ketua Muhammadiyah ter jadi saat Indonesia di bawah penjajahan Jepang. Untuk melawan para penjajah, Muhammadiyah memer lukan tokoh kuat dan patriotik.
Ki Bagus pun dinilai sangat berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam. Penjajah selalu memerintahkan umat Is lam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari. Hal tersebut pun kemudian berani ditentang keras oleh Ki Bagus. Tak sekadar memimpin, Ki Bagus menorehkan jasa besar bagi perkembangan organisasi para pembaru tersebut. Ia merumuskan pokok pemikiran Ahmad Dahlan yang kemudian menjadi mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
“Mukadimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari mukadimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah,” tulis web resmi Muhammadiyah.
Bukan hanya berkiprah di ranah ormas, Ki Bagus juga menorehkan jasa bagi bangsa Indonesia. Ia merupakan salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) yang kemudian menyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perumusan mukadimah UUD 1945, Ki Bagus memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Hal tersebut pun kemu dian dise tujui seluruh anggota PPKI. Jadi lah apa yang menjadi buah pikiran Ki Bagus terse but hing ga kini terus abadi menjadi landasan negara.
Atas jasa ini lah, Pemerintah RI kemudian menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Na sional Indonesia.
Setelah banyak mengabdikan diri bagi umat Islam secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum, Ki Bagus menghembuskan napas terakhir pada usia 64 tahun.
Ia meninggal di Jakarta pada 4 November 1954. Ki Bagus memiliki banyak sekali anak, salah satunya juga merupakan seorang tokoh Muhammadiyah bernama Djarnawi Hadikusumo. Selain jasa yang terus dikenang dalam sejarah, Ki Bagus juga meninggalkan banyak karya untuk umat. Beberapa buku yang dia tulis, yakni Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
“Dari buku-buku karyanya tersebut, tecermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam,” tulis web Muhammadiyah.
Baru-baru ini, Muhammadiyah juga meluncurkan buku tentang pemikiran tiga tokoh bersejarah, salah satunya, yakni mengenai kiprah Ki Bagus. Buku tersebut bertajuk Dari Muhammadiyah untuk Indonesia: Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo dan KH Abdul Kahar Mudzakir.