REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan yang luar biasa ke luar angkasa telah jauh-jauh ada sebelum manusia modern berfikir untuk membuat pesawat ulang alik dan berangan-angan ingin menjadi astronot.
Perjalanan Rasulullah ke Sidratul Muntaha atau yang dikenal dalam Islam dengan peristiwa Isra’ Miraj sungguh suatu hal yang luar biasa dan menakjubkan. Sehingga, hingga kini peristiwa tersebut terus diperingati oleh sebahagian umat Islam dengan mengadakan wirid pengajian.
Menurut Guru Besar di Universitas Islam Bandung (Unisba), Prof KH Maman Abdurrahman peristiwa Isra miraj tersebut setidaknya mengandung tiga aspek yang menjadi hikmah dan pelajaran bagi umat Islam. Ketiganya itu adalah; nilai spiritual, nilai ritual, dan nilai sosial.
“Peristiwa Isra Miraj ini tidak gampang dipahami orang. Karena perjalanan Rasulullah merupakan perjalanan fisik dan jiwanya. Tidak seperti yang difahami sebahagian orang yang mengatakan perjalanan jiwanya saja. Kalau Cuma jiwanya saja, tidak mungkin dibicarakan sampai seheboh ini,” jelas Prof Maman kepada Republika, Jumat (7/6).
Sungguh tak bisa dibayangkan apabila perjalanan Isra Miraj yang Rasulullah jalankan merupakan hanya perjalanan ruhani alias hanya mimpi, karena jika hal itu yang terjadi maka perjalanan Isra’ Mi’raj tidak ada bedanya dengan wahyu-wahyu yang Rasulullah terima baik melalui bisikan Jibril maupun dari mimpi.
Sehingga peristiwa Isra Mi’raj tidak bisa dijadikan pembuktian keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sepulangnya Rasulullah dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj-nya, beliau mengumumkan tentang apa yang telah dialaminya semalam kepada kaumnya.
Dan sebagaimana yang diceritakan oleh Rasulullah bahwa perjalanan Isra Mi’raj tersebut sebuah perjalanan yang dilakukannya dengan jiwa dan ruhnya, maka seketika itu banyak dari kaum Quraisy yang menentang dan mencemoohnya dengan sebutan ‘gila’.
Jadi, perjalanan Isra’ Miraj berkaitan langsung dengan keimanan seseorang. Ketika mendapatkan kabar yang diluar jangkauan logika, tentu hanya iman lah yang bisa mempercayainya.
Sedangkan aspek kedua adalah aspek ritual. Hal ini berkaitan dengan maksud dari Isra’ Miraj itu sendiri yaitu untuk menjemput perintah shalat.
“Coba kita bayangkan, pertama diwajibkannya shalat itu sebanyak 50 kali sehari semalam. Namun Rasulullah meminta dikurangi sampai sembilan kali. Sehingga yang tersisa Cuma lima kali saja. Itupun masih banyak umat Islam yang tidak melaksanakannya,” jelas pria kelahiran Ciamis, 7 Agustus 1948 ini.
“Shalat itu kan Cuma 4-5 menit saja ya. Tak seberapa banyaknya dengan waktu 24 jam yang diberikan Allah. Namun untuk memberikan waktu sebentar untuk shalat itupun orang-orang masih enggan,” tambahnya.
Menurut Maman, percuma saja umat Islam setiap tahun memperingati Isra Miraj sedangkan ia masih enggan mendirikan shalat. Sedemikian mulianya perintah shalat sampai harus dijemput ke langit. Namun perjalanan Rasulullah itu akan sia-sia belaka jika umat Beliau SAW tidak mau melaksanakannya.
Aspek ketiga dalam Isra Mi'raj tersebut adalah aspek sosial. Hal ini harus ada dalam setiap muslim yang tidak hanya memperhatikan hubungan vertikalnya dengan Allah, namun juga hubungan horizontalnya ke sesama masyarakat.
“Coba kita lihat sewaktu kita akan mengakhiri shalat dengan mengucapkan Assalamu’alaikum ke kiri dan ke kanan. Mengapa kita mengucapkan salam ke saudara disamping kiri dan disamping kanan kita? Tujuannya, setelah kita menunaikan ritual ibadah kita kepada Allah, kita juga memperhatikan orang-orang disegitar kita dengan menyambung silaturrahmi,” jelas Maman.
Demikianlah ciri khas seorang muslim. Seyogyanya tiga aspek ini senantiasa dan harus ada dalam diri seorang muslim hingga akhir hayatnya.