REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah
Isra Mi'raj adalah peristiwa bersejarah nan agung. Rangkaian kejadian yang terjadi selama proses Isra Mi'raj merupakan bentuk akselerasi pengukuhan Muhammad SAW sebagai rasul dan nabi terakhir. Banyak pelajaran penting dan berharga yang bisa diambil dari Isra Mi'raj.
Akan tetapi, kata Syekh Abdul Qadir bin Muhammad bin Abdurrahman al-Junaid, muncul perbedaan di kalangan ulama soal kapankan Isra Mi'raj berlangsung. Penjelasan Syekh Abdul Qadir itu tertuang dalam makalahnya berjudul “al-Ikhtilaf fi Ta'yin al-Isra' wa al-Mi'raj”. Penegasan adanya selisih pandang di kalangan ulama ini pernah pula ditulis oleh sejumlah cendekiawan.
Sebut saja, Imam al-Qurthubi dalam kitab /at-Tamhid, Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi dalam kitab al-Wafa' Bita'rif Fadhail al-Musthafa, Imam as-Sakhawi yang bermazhab Syafii juga menyatakan adanya perbedaan itu di karyanya yang berjudul al-Ajwibah al-Mardhiyah fima Suila as-Sakhawi 'anhu min al-Ahadits an-Nabawiyyah, dan Imam al-Harawi al-Makki al-Hanafi di kitab as-Syifa Bita'rif Huquq al-Musthafa.
Meskipun terdapat kontroversi kepan Isra Mi'raj terjadi, tetapi Syekh Abdul Qadir menggarisbawahi bahwa para ulama sepakat kebenaran peristiwa yang membawa Rasulullah SAW menerima perintah shalat itu. Ada banyak ragam pendapat soal waktu berlangsungnya Isra Mi'raj, salah satu pendapat menyebutnya ada 10 opsi. Tetapi, mengurucut pada tujuh opsi.
****
Pendapat yang pertama menyatakan bahwa Isra Mi'raj terjadi pada Rajab. Pendapat ini dirujuk oleh Ibn al-Jauzi, al-Madisi yang bermazhab Hanbali, dan Imam an-Nawawi di satu riwayat. Opsi ini mendapat sanggahan dari sejumlah kalangan, antara lain, dari Ibn Dihyah al-Kalbi, Abu Syamah al-Maqdisi, dan Ibn Hajar al-Asqalani. Riwayat yang menyatakan Isra Mi'raj terjadi pada Rajab, dinyatakan lemah, bahkan tak sedikit perawinya terindikasi berbohong.
Pendapat yang kedua, yakni waktu terjadinya Isra Mi'raj ialah pada Rabiul Awwal, tepatnya 27 malam. Opsi ini pilih oleh Abu Ishaq al-Harbi, Ibn Dihyah al-Kalbi al-Maliki, an-Nawawi di satu riwayat. Oleh al-Qadhi Ibn al-Munir al-Iskandari al-Maliki, opsi ini dinilai sebagai pandangan terkuat dari sekian pendapat yang pernah ada.
****
Sedangkan, opsi yang ketiga, tak jauh beda dengan kelompok kedua, yaitu terjadi pada Rabiul Awwal. Hanya saja, tanggal kejadiannya bukan 27 melainkan 17 malam. Imam as-Sakhawi dalam kitab Uyun al-Atsar memaparkan, opsi yang ketiga ini lah yang paling populer. Pandangan ini merupakan pendapat beberapa sahabat, antara lain, Ibn Abbas, Abdullah bin Amar bin al-Ash, Ummu Salamah, dan Aisyah.
Opsi keempat, peristiwa ini terjadi pada Sabtu malam, 17 Ramadhan. Ini seperti dinukilkan oleh Ibn Sa'ad di kitab at-Thabaqat yang mengutip riwayat dari Abu Bakrah. Riwayat ini dinilai lemah, menyusul keberadaan Muhammad bin Umar al-Waqidi yang dinyatakan lemah.
Kelima, seperti yang disebutkan oleh Imam al-Mawardi, peristiwa ini waktunya pada Syawwal. Keenam terjadi pada Dzulqa'dah, seperti dinukilkan oleh Ibn Katsir dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah. Pada kitab yang sama, Ibn Katsir juga mengindikasikan waktu kejadian yang lain, yaitu Isra Mi'raj terjadi pada 12 Rabiul Awwal. Ketujuh, Isra Mi'raj ada pada 27 malam Ramadhan. Pendapat ini disinyalkan oleh Imam al-Qasimi dalam kitab Mahasin at-Ta'wil.
Ragam pandangan ini, jelas Syekh Abdul Qadir, tidak berarti utuh untuk mempercayai Isra Mi'raj. Bagaimanapun, seperti kaidah fikih al khuruj min al khilaf mustahab, singkirkan sejenak hiruk pikuk perbedaan itu. Fokus saja pada penyelaman hikmah dan pelajaran berharga di balik Isra Mi'raj. Dengan saling berbagi wasiat perihal nilai-nilai penting itu maka Isra Mi'raj menjadi momentum berharga untuk mengajak umat kembali memperteguh keimanan. “Kapan pun itu, baik di Rajab atau bulan-bulan lainnya,” katanya.