REPUBLIKA.CO.ID. Oleh: Ustaz Nashih Nashrullah
Berbicara soal aksi premanisme yang dilakukan sejumlah kelompok, memang agak sedikit pelik. Persoalan ini cukup kompleks. Solusi menangatasi permasalahan ini juga bukan perkara gampang.
Premanisme lahir dan berkembang lalu menggurita. Muncul bukan dari ruang hampa. Dampak dari ketidakadilan, ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik.
Istilah premanisme kini, tak terhenti pada aksi pemerasan. Premanisme oleh segelintir pihak disinyalir terlibat di berbagai tindak kriminal, mulai dari aksi perampokan, perampasan, penjarahan hingga aksi kerusuhan.
Di Tanah Air, fenomena tersebut subur kala kondisi ekonomi memburuk dan angka pengangguran tinggi.
Di kawasan Timur Tengah yang tengah dilanda revolusi, otoritas setempat dibuat kewalahan dengan aksi rusuh oleh sejumlah preman bayaran.
Kehadiran mereka memang sulit terdeteksi. Mereka dibayar, berkamuflase, dan berbaur dengan rakyat jelata menggelar aksi demostrasi anarkis.
Ini tak terkecuali, kata seorang kolumnis asal Mesir, Ridha Abdurrahman Ali di laman resmi ahewar, menimpa pula negeri piramida tersebut. Balthajah,--sebutan untuk preman bayaran--hampir tiap hari, menebar teror di Mesir.
Mereka membekali dirinya dengan senjata. Tak kenal kompromi, yang ada di hadapan mereka hanyalah kerusuhan; bentrok dengan aparat keamanan, merusak fasilitas umum, dan menciptakan instabilitas. “Ini adalah hasil didikan rezim Mubarok,” kata Abdurrahman Ali.
Anggota Asosiasi Ulama Internasional Syekh Abdul Lathif al-Munahi, dalam makalahnya berjudul al-Balthajah fi Mizan al-Islam, menarik kesimpulan yang sangat radikal.
Menurut Syekh Abdul Lathif al-Munahi, benih premanisme muncul sejak awal sejarah manusia. Ini ditandai dengan peristiwa pembunuhan Habil, oleh saudaranya, Qabil. Kisah tersebut tertuang di ayat 27 surah al-Maidah.
Ia mengemukakan sejumlah solusi untuk mengatasi premanisme antara lain optimalisasi peran para dai dan ulama. Mereka memiliki tugas untuk melakukan pendekatan dan pencerahan. Pekerjaan itu tak mudah, membutuhkan kesabaran. Fungsi ini harus pula dilakukan oleh agamawan dari berbagai agama.
Syekh al-Munahi menyebut pentingnya keterlibatan media untuk edukasi dan sosial kepada masyarakat perihal bahaya premanisme. Menurutnya, peran aktif pemerintah juga tak kalah penting.
Pemerintah berkewajiban menciptakan keadilan sosial bagi segenap lapisan masyarakat. Salah satu contoh kecil ialah menampung para anak jalanan.
Tumbuh kembang tunas bangsa di jalanan itu, sangat berpotensi membentuk karakter mereka yang keras. Ayomi dan perhatikan mereka. “Ini diyakini bisa menekan angka premanisme dan kriminalitas,”tulisnya.
Tak cukup dengan pemerataan kesejahteraan, tugas tersebut mesti diperkuat dengan tindakan penegakan hukum oleh pihak berwajib. Tanpa itu, maka sulit untuk mempersempit ruang gerak para preman.
Imam di Kementerian Wakaf Mesir, Syekh Hisam al-Isawi Ibrahim, mendorong pentingnya peran keluarga. Komunitas terkecil masyarakat tersebut memiliki posisi vital dalam tatanan sebuah negara.
Jika sistem di keluarga berjalan dengan baik, akan tercipta atmosfir yang kondusif. Kenyataannya, hal tersebut saat ini tak terwujud. Sendi keluarga kian rapuh. Banyak orangtua yang kurang peduli terhadap buah hatinya. “Maka, maksimalkan keluarga,”katanya.
Untuk level individu, ia menekankan urgensi penempaan diri dan rohani oleh tiap warga. Bagi Muslim, konsep kontrol diri muraqabah lazim dilakukan tiap saat.
Karena, pada hakikatnya, Allah SWT senantiasa mengawasi tiap hamba-Nya, kapan dan di manapun ia berada. “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” (QS. Ali Imran [3]: 5).
Namun, menurut Guru Besar Universitas al-Azhar Mesir, Prof Mahmud Mahni, hanya satu solusi mengatasi premanisme, yakni sanksi yang tegas. Ia tidak menafikan efektivitas cara represif atasi premanisme, tetapi para preman semakin berani dan menghalalkan segala cara.
Ada tiga opsi hukuman yang bisa dijatuhkan kepada para preman. Sanksi itu tak lain ialah ganjaran bagi para pelaku kerusakan, yaitu hukuman mati, potong kaki dan tangan, dan pengasingan mereka. Hal ini seperti termaktub di surah al-Maidah ayat 33.
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).”