REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj mengatakan, situasi yang kondusif di Kalimantan Barat dapat menjadi cerminan kondisi Kota Madinah di masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
"Di Kalbar, semua hidup berdampingan dengan aman. Ada Suku Melayu, Dayak, Madura, Cina, Jawa dan sebagainya," ujar Said Aqil Siradj saat peringatan Hari Lahir ke-87 Nahdlatul Ulama di Pontianak, Rabu (20/2).
Menurut dia, sejak 15 abad lalu, Nabi Muhammad SAW telah membangun Kota Madinah dengan latar belakang penduduk yang berbeda-beda suku dan agama. "Ada yang dari agama Islam, Yahudi, Katolik, Kristen dan sebagainya," ujar dia.
Ia menegaskan, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendirikan negara Islam maupun negara Arab. "Melainkan negara Madinah," kata Said Aqil Siradj.
Perbedaan agama dan etnis, ujarnya, jangan menjadi dasar untuk permusuhan. "Kecuali, yang dijadikan musuh adalah yang dholim kepada sesama," katanya.
Ia pun mencontohkan di Perjanjian Madinah, tidak ada yang menyinggung tentang Islam. Namun yang terpenting adalah Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathoniah dan Ukhuwah Insaniah.
Ia pun menegaskan NU tetap memegang negara Indonesia berdasarkan Pancasila, bukan Islam. "Tanah Air didahulukan, dan Islam dengan Tanah Air harus sinergis," ujar dia.
Sejarah NU dimulai ketika kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916.
Kemudian pada 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.
Selanjutnya didirikanlah Nahdlatul Tujjar, (Pergerakan Kaum Saudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Kemudian, saat Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Makkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid'ah.
Terjadi pro kontra. Kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Didorong minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai KH Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Makkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing.
Kemudian, muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.