REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, apa boleh kita punya usaha tukar-menukar uang (valas) atau money changer, yang keuntungannya diambil dari selisih harga beli dan jual uang tersebut?
Nurhayati - Jakarta Utara
Waalaikumussalam wr wb.
Bisnis valuta asing (valas) adalah bisnis mata uang asing, seperti dolar Amerika, euro untuk negara-negara Eropa, riyal Saudi, ringgit Malaysia, dan mata uang negara-negara lainnya. Mata uang asing digunakan ketika terjadi perdagangan antara dua negara dalam bentuk ekspor dan impor, baik dilakukan oleh negara maupun perusahaan dan individu.
Mata uang asing juga digunakan ketika seseorang ingin pergi ke luar negeri. Dalam kitab fikih Islam, jual-beli mata uang disebut al-sharf dan dalam istilah fikih kontemporer disebut al-tijarah bil al-‘umlat (jual-beli mata uang). Pada masa awal dan kejayaan Islam, mata uang itu hanya dalam bentuk emas yang dinamakan dinar dan perak yang dinamakan dengan dirham.
Tetapi, zaman sekarang kebanyakan mata uang berbentuk nikel, tembaga, dan kertas yang diberi nilai tertentu. Para ulama menjelaskan, pada dasarnya al-sharf atau jual-beli mata uang hukumnya boleh, sebagaimana jual-beli lainnya, selama tidak mengandung unsur riba, gharar, dan spekulasi, serta memenuhi syarat yang ditentukan dalam syariat.
Hadis Nabi Muhammad menjelaskan ketentuannya. Pertama, jual-beli atau transaksi tersebut harus dilakukan secara tunai, artinya tiap pihak harus menerima dan menyerahkan mata uang masing-masing pada saat terjadinya transaksi. Tidak sah jual-beli itu jika salah satu pihak tidak menerima atau menyerahkan mata uangnya. Karena, ini akan termasuk riba yang diharamkan oleh Allah SWT.
Dari ‘Ubadah bin al-Shamit, ia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar secara kontan (tunai). Dan, jika jenis barang itu berbeda, silakan engkau memperjualbelikannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR Muslim).
Dalam hadis lain disebutkan, dari Abu Minhal, ia berkata, “Saya bertanya kepada al-Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam tentang al-sharf (jual-beli uang), maka mereka berkata, ‘Pada zaman Rasulullah SAW kami adalah pedagang dan kami bertanya kepada Rasulullah SAW tentang al-sharf itu. Beliau bersabda, ‘Jika dilakukan dengan cara tunai maka tidak apa-apa dan jika dilakukan penundaan (ditangguhkan penyerahan salah satu uang tersebut) maka tidak boleh.” (HR Bukhari).
Kedua, jika pertukaran itu dalam mata uang yang sama, nilainya harus sama dan tidak boleh ada yang dilebihkan. Misalnya, rupiah dengan rupiah maka nilai nominalnya harus sama, tidak boleh menjual Rp 1.000 rupiah dengan Rp 1.100 karena itu termasuk riba yang disebut dengan riba al-fadhl.
Sedangkan, jika mata uangnya berbeda, seperti rupiah dengan dolar AS, hanya disyaratkan transaksi itu harus tunai dan ada saling serah terima antara pembeli dan penjual pada saat transaksi. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali sama beratnya, dan janganlah engkau melebihkan satu dengan yang lainnya, dan janganlah engkau menjual perak dengan perak, kecuali sama beratnya, dan janganlah engkau melebihkan satu dengan yang lainnya, dan janganlah kalian menjual sesuatu yang tidak ada (ghaib) dengan sesuatu yang ada di tempat (najiz).” (HR. Bukhari).
Maka, boleh membuka usaha tukar-menukar uang (money changer) selama memperhatikan dan melaksanakan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Tujuannya, agar kita tidak terjatuh ke dalam perbuatan riba yang diharamkan dan sangat dibenci Allah SWT.
Wallahu a’lam bish shawab.
Ustaz Bachtiar Nasir