REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nasrullah
Mahabbah, sebuah ungkapan kecintaan. Cinta yang muncul dari hati dan perasaan seseorang atas suatu hal. Cinta terhadap pasangan, cinta kepada orang tua, dan cinta terhadap anak, istri, serta kerabat.
Kekuatan cinta mengalahkan kebencian. Mengikis permusuhan dan benih konflik. Begitu dahsyat arti cinta. Cinta, kata Imam Syafii, menggiring orang untuk mengikuti apa pun titah sang kekasih. Innal muhibbi lima yuhibbuhi muthi'.
Cinta itu akan lebih berharga dan berarti, kata Syekh Husain bin Qasim al-Qathis, bila ditujukan kepada Rasulullah. Melalui artikelnya berjudul “Mahabbatun Nabi”, ia mengatakan, cinta terhadap Rasulullah adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Mencintai Allah SWT, maka harus dibuktikan dengan ketaatan terhadap Rasul-Nya. Cinta terhadap Rasul adalah puncak keimanan Muslim.
Suatu saat, Umar bin Khatab pernah mendatangi Rasulullah SAW dan menyatakan cintanya kepada Rasul. Umar mengatakan, ia mencintai Rasul dari segala sesuatu, kecuali satu perkara, yakni dirinya sendiri. Kecintaan tokoh bergelar al-Faruq itu terhadap Nabi, belum mampu mengalahkan kecintaan terhadap dirinya sendiri.
Rasul menegur khalifah kedua tersebut. Dalam sebuah hadisnya, Nabi menegaskan bahwa tidaklah sempurna iman seseorang sampai ia mencinta Rasul mereka melebihi apa pun. Umar bergegas mengevaluasi dan mengoreksi pernyataannya. Ia mengatakan, kini sepenuhnya cintanya akan ditujukan untuk Rasulullah. “(Buktikan) sekarang wahai Umar,” titah Rasulullah.
Kecintaan terhadap Rasulullah, kata Syekh Husain, akan membawa Muslim sebagai pribadi yang terjaga. Ini lantaran cinta membawanya tetap dalam koridor sunah yang telah Rasul gariskan. Tak ada yang bisa menandingi kekuatan cinta kepada Rasulullah. Bahkan, hanya bermodal cinta yang tulus dan hakiki, seorang sahabat berhak mendapatkan surga.
Sebuah hadis riwayat Anas bin Malik mengisahkan tentang keutamaan cinta Rasulullah. Suatu ketika, sahabat bertanya tentang kapankah kiamat akan tiba. Rasul membalas, “Apa sajakah persiapan yang telah engkau tempuh?” Tak ada apa pun yang ia persiapkan, kecuali kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kecintaan itu pun berbuah manis. “Engkau akan bersama orang yang engkau cintai,” sabda Rasul.
Kala zaman dan peradaban berkembang, kata Syekh Husain, kecintaan itu mulai terkikis. Tak sedikit umat yang kian terjauh dari teladan Rasulullah. Cinta terhadap Rasul, bukan lagi orientasi hidup mereka. Kecintaan itu tergerus dengan 'penghambaan' pada materi. Ia pun memandang penting untuk menghidupkan sunah Rasulullah. Ini agar muncul kembali rasa cinta terhadap Baginda Rasul.
Ia memaparkan beberapa hal yang bisa ditempuh agar muncul kecintaan itu. Pertama, yakinlah bahwa risalah yang disampaikan oleh Muhammad SAW benar adanya. Tak ada keraguan atas keyakinan itu. Sikap membenarkan itu merupakan ungkapan rasa cinta. Lihatlah, ketika bangsa Arab saat itu menertawakan, menghujat, dan mendustakan Rasul, sejumlah nama penting justru berdiri di sampingnya dan memercayainya. Khadijah dan Abu Bakar, terutama.
Jika ingin dekat dengan Rasul, ikuti segala perintah dan sunah yang pernah ia lakukan. Hanya dengan ketaatan itulah, maka cinta akan terbukti. “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 31).
Qadi 'Iyadh mengatakan, kecintaan seseorang pada sesuatu akan mendorong dirinya mengedepankan perkara itu dari segala hal. Jika tidak, cinta itu omong kosong dia hanya mengklaim. Orang yang benar-benar mencintai Nabi tanda paling mencolok akan tampak. Paling awal ialah ketatannya pada sunah yang pernah Rasul tetapkan.
Rasa cinta tersebut akan berbuah pada tindakan sehingga kecintaan terhadap Rasulullah harus dibuktikan dengan perbuatan baik terhadap sesama. Saling tolong-menolong, mentradisikan nasihat, dan saling menjaga satu sama lain. Konon, Abu Bakar sangat mencintai Rasul, antara lain, karena kemuliaan pekerti dan akhlak Muhammad. Putra dari Abdullah tersebut dikenal dengan al amin dan peduli terhadap sesama.
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. at-Taubah [9]: 128)