REPUBLIKA.CO.ID, Menjawab pertanyaan itu, Ulama Quraish Shibab mengungkapkan bahwa persoalan ibadah mahdhah (murni) oleh para ulama kita dinyatakan sebagai persoalan yang harus diterima sebagaimana tuntunan Nabi, karena berada di luar wilayah nalar. ''Seandainya agama (ibadah murni) berdasarkan pertimbangan akal, maka bawah alas kaki (yang penuh kotoran) lebih utama (logis) dibersihkan (ketika berwudhu dalam keadaan udara dingin misalnya) daripada bagian atasnya (tetapi tidak demikian).'' Begitu ucap Sayyidina Ali ra.
Jika demikian pertimbangan ''akal'' dalam hal ini harus terlebih dahulu didasari oleh keterangan Alquran dan atau Assunnah. Memang ulama berbeda pendapat menyangkut persoalan yang Anda ajukan, berdasar perbedaan penafsiran dan penilaian terhadap hadis-hadis Nabi saw.
Imam Syafi'i, seperti ditulis Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa siapa yang menyentuh lawan jenisnya tanpa alat -- baik menimbulkan berahi atau tidak -- maka batal wudhunya. Ada riwayat lain menyangkut pendapat Syafi'i yang menyatakan bahwa yang batal hanya yang menyentuh bukan yang disentuh. Di sisi lain ada riwayat lain menyatakan bahwa dalam hal wudhu Imam Syafi'i mempersamakan istri dengan semua mahram (demikian istilah yang benar, bukan muhrim yang merupakan kesalahan populer).
Ada lagi riwayat yang menyatakan bahwa hanya pasangan (istri/suami) yang batal wudhunya. Mazhab Abu Hanifah mempunyai pendapat yang amat longgar dalam persentuhan pria dan wanita. Menurut mereka, wudhu baru batal apabila terjadi persentuhan yang berat, yakni bertemunya dua alat kelamin yang disertai berahi tanpa pemisah. Sedang mazhab Malik dan Hanbali menyatakan bahwa batalnya wudhu adalah akibat persentuhan yang mengakibatkan birahi, baik terhadap istri/suami maupun selainnya.
Demikian terlihat bahwa ketiga mazhab tidak menjadikan sekadar persentuhan dua jenis kelamin sebagai membatalkan wudhu, berbeda dengan pendapat populer dari Imam Syafi'.
Ketiga mazhab pertama mendasarkan pendapatnya pada Firman Allah: Auw Laamastum an-Nisa' (atau kalau kamu menyentuh/menyetubuhi perempuan) (QS 5:6) yang oleh Abu Hanifah diartikan berdasar penafsiran Ibnu Abbas atas hubungan seks, dan bahwa pakar bahasa menyatakan bahwa kata lamasa jika digandengkan dengan wanita maka maknanya seperti itu, serta dikuatkan pula oleh hadis Aisyah bahwa Nabi saw mencium istrinya kemudian shalat tanpa berwudhu.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasaiy, Ahmad, dan Tirmizi, tetapi tidak bersambung (mursal) dan dinilai antara lain oleh Imam Bukhari sebagai hadis yang lemah. Karena itu pendapat di atas tidak didukung oleh banyak ulama.
Adapun Malik dan Abu Hanifah memahami kata ''lamasa'' dengan sentuhan, yang disertai syahwat. Karena, bahasa pada dasarnya menggunakan kata tersebut dalam arti demikian. Sedang persyaratan syahwat mereka tetapkan berdasarkan hadis-hadis, antara lain dari istri Nabi, Aisyah, yang menginformasikan bahwa, ''Suatu malam aku mencari Rasul saw di pembaringan dan tidak menemukan beliau maka kuletakkan tanganku di telapak kaki beliau yang ketika itu beliau berada di masjid'' (Diriwayatkan oleh Muslim dan Attirmizy).
Kamar tidur Nabi berdempetan dengan masjid. Syafi'i memahami arti ''lamasa'' dengan menyentuh, sedang hadis di atas walaupun dinilai shahih beliau memahami persentuhan tersebut tidak secara langsung tetapi dibatasi oleh batas/pakaian. Pendapat ini memang ketat, tetapi aman. Sedang pendapat moderat adalah pendapat mazhab Malik dan Hanbali.