REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Kabar yang menyebutkan Muslimah Inggris terpaksa melepas jilbab mereka untuk mendapatkan pekerjaan tidak sepenuhnya benar.
Duo Hip Hopers Muslimah meluruskan kabar itu.
Aktivitas mereka selanjutnya dipublikasikan melalui sebuah dokumenter berjudul “Hip Hop Hijabi” yang digarap sutradara kelahiran Denmark, Mette Reitzel.
Dokumenter ini diperkirakanselesai tahun ini. Duo Hip Hijabi yang beranggotakan Abdul Noor dan Sukina Muneera ini merupakan keturunan imigran asal Jamaika.
Besar di Bristol, keduanya kemudian memeluk Islam dan mengenakan jilbab. Bakat bernyanyi mereka tetap terasah meski telah berganti identitas.
Bakat itu selanjutnya membawa mereka keliling dunia. Sepanjang perjalanan itu mereka mendapatkan banyak pujian, khususnya cara mereka dalam mempromosikan Islam.
Cara mereka mempromosikan kepribadian sebagai Muslimah yang dibarengi profesi mereka sebagai penyanyi Hip Hop menjadi inti kisah dokumenter garapan Reitzel. Dalam pemahaman Reitzel, banyak kesalahpahaman, utamanya dalam isu kesetaraan gender, yang juga menjadi perhatian dari Sukina dan Muneera.
“Bagi dua sahabat ini, Islam memberikan penghargaan besar terhadap kaum perempuan. Mereka menganggap perlakuan buruk yang dilakukan kelompok garis keras bukan karena Islam tetapi lebih kepada budaya,” kata dia seperti dikutipMiddleeastonline.com, Rabu (8/1).
Menurut Reitzel, keduanya menemukan satu fakta menarik di mana Islam mengutuk pembunuhan bayi perempuan, satu budaya yang berlaku saat itu. Islam juga memperkenalkan hak-hak warisan, perceraian dan pendidikan bagi perempuan.
Islam juga memperkenalkan gaya hidup sehat berupa pemotongan alat kelamin perempuan. "Mereka perkenalkan kepada khalayak luas, khususnya kepada pemuda Muslim Eropa, yang merasa terjebak oleh budaya non-Muslim dan stereotip negatif," kata Rietzel.
Keduanya juga mencoba melawan pakem yang mengatakan Islam tidak bisa bersanding dengan budaya Hip Hop. Sebaliknya, mereka gabungkan kedua hal itu menjadi satu ekspresi yang bertujuan melawan kekerasan, konsumsi obat terlarang dan perilaku desktruktif lainnya.
“Saya kira, dokumenter ini akan memperbaiki keseimbangan dalam perdebatan. Ini sekaligus memicu diskusi, ceramah dan debat publik yang konstruktif soal ektremis atau islamofobia,” demikian Reitzel.