Kamis 03 Jan 2013 19:59 WIB

Moro, Rohingya, dan Pattani (3-habis)

Rep: Afriza Hanifa/ Red: Chairul Akhmad
Muslim Pattani saat melaksanakan shalat Idul Fitri di sebuah masjid di Kota Pattani, Thailand Selatan.
Foto: AP Photo/Sumeth Panpetch
Muslim Pattani saat melaksanakan shalat Idul Fitri di sebuah masjid di Kota Pattani, Thailand Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah orang Eropa datang, perlahan tapi pasti seluruh jaringan perniagaan sentral di Asia Tenggara menjadi milik mereka.

Sejarah Pattani pun terlupakan, padahal pernah menjadi kota pelabuhan penting bagi Islam.

“Banyak ulama dari Pattani, tak tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, saya kira, dulu ulama selain orang Arab, Campa, juga ada dari Pattani,” jelas pakar sejarah Universitas Indonesia, Bondan Knumayoso.

Wilayah Pattani di Thailand Selatan, menurut Bondan, merupakan bagian dari Melayu. Namun, dalam perkembangan pembentukan negara Thailand, kawasan tersebut diakui sebagai bagian dari Thai.

Padahal, identitas mereka sebagai masyarakat Melayu sudah terbangun sejak abad ke-14-15. Dampaknya, hingga kini Pattani pun menjadi minoritas di Thailand, sama halnya dengan Moro di Filipina dan Rohingya di Myanmar.

Penyatuan tanpa memandang sejarah kawasan, budaya, dan keinginan etnis yang bersangkutan menjadi penyebab timbulnya masalah di tengah kondisi Islam di Asia Tenggara yang damai tanpa hiruk-pikuk peperangan ataupun kekerasan.

“Mengapa budaya beda, agama beda, tetap mempertahankannya bersatu. Akhirnya konflik berkembang hingga sekarang,” kata Bondan.

Hal seperti itu, lanjut dia, juga pernah dialami Indonesia ketika menghadapi Timor Timur. Budaya dan agama berbeda sehingga terus menimbulkan konflik berkepanjangan. “Hingga akhirnya dengan proses yang berat ,Timor Timur pun dilepas.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement