Senin 03 Dec 2012 14:22 WIB

Muslim Cham Vietnam Bertahan Diantara Kaum Sosialis

Muslim Cham di Masjid Jamiul Nia Mah
Foto: amirul hasan
Muslim Cham di Masjid Jamiul Nia Mah

REPUBLIKA.CO.ID,TAY NINH -- Bangunan besar itu tampak lengang ketika malam menjelang. Di sisi utara, terpancang tiang bendera yang cukup tinggi menyerupai huruf T. Terdapat dua utas tali yang mengikat dua bendera. Satu berwarna merah dengan gambar bintang kuning di tengahnya, satunya lagi berwarna hijau polos. Ya, bendera merah itu adalah bendera resmi Negara Republik Sosialis Vietnam, sementara hijau, saya menduga itu simbol keislaman komunitas setempat.

 

Demikianlah kondisi di Xa (kampung) Suoi Day, Tan Chau Provinsi Tay Ninh, Vietnam. Xa Suoi Day adalah salah satu perkampungan muslim yang didominasi etnis Cham di Provinsi Tay Ninh. Di wilayah Tay Ninh, komunitas muslim terkonsentrasi pada kampung-kampung semacam ini. Total ada sembilan kampung muslim di Tay Ninh.

Sepi, itulah kesan saya yang baru saja tiba di kampung ini sore hari menjelang Magrib. Kedatangan saya untuk menyalurkan amanah donatur yang berkurban melalui Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa.

Ada sebuah masjid disana. Tapi suasananya tidak seperti di tanah air. Sunyinya masjid yang diberi nama Jami’ul Nia Mah itu adalah cerminan kesunyian Islam di kampung ini. Pengakuan keluar dari salah satu warga kampung bernama Zein, menurutnya perkembangan Islam di kampung ini memang melambat—jika tidak ingin dibilang luntur.

“Anak-anak di sini tidak paham apa agama mereka sesungguhnya,” ungkapnya.

Menurut Zein, banyak orang di kampungnya tak tahu apa yang mereka baca ketika shalat, tidak tahu syarat dan rukun shalat, mereka hanya mengikuti gerakan orang lain yang shalat. “Membaca Al quran saja mereka tidak bisa,” tambah Zein.

Kekhawatiran Zein bertambah manakala infiltrasi budaya lain seperti, minuman keras, judi dan yang lainnya mempengaruhi pergaulan anak-anak mereka. Sebagaimana diketahui, Islam di Vietnam adalah minoritas. Jumlah mereka tidak lebih dari 100 ribu dari total penduduk Vietnam yang mencapai 86 juta jiwa.

Kondisi ini diperparah dengan ketatnya pemerintahan Sosialis Vietnam dalam hal kegiatan keagamaan. Zein yang telah menuntut ilmu agama selama lima tahun di salah satu pesantren di Jawa Timur ini tidak bisa berkutik ketika ia dilarang mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti Alquran dan hadis kepada warga sekitar oleh pemerintah desa. “Saya harus menunggu surat izin mengajar dari pemerintah,” akunya.

Namun, kejelasan surat itu tak kunjung datang. Tiga bulan sudah nasib Zein digantung, ia tidak bisa mengamalkan ilmu-ilmunya untuk dibagikan kepada orang lain karena secarik kertas itu. Aturan di tempat mereka, kata Zein, memang seperti itu. Imam, bilal dan guru agama di masjid harus mendapat “stempel” dari pemerintah.

“Kita tidak bisa seenaknya mengumpulkan orang di sini untuk belajar agama seperti majlis taklim di Indonesia,” jelasnya lagi.

Di Masjid Jamiul Nia Mah itu bukan tidak ada aktivitas keagamaan seperti pengajian Alquran. Tapi minimnya tenaga ustadz yang paham ilmu agama dan mendapat legalitas pemerintah menjadi kendala tersendiri di kampung yang hanya terdapat satu masjid ini. Zein mengakui, suasana keislaman di perkampungan tidak seleluasa di kota besar seperti Ho Chi Minh dan Hanoi. Pemerintah yang berhaluan komunis ini sangat aktif dan ketat di desa-desa.

Situasi ini membuat membuat Zein dan beberapa orang lainnya yang merasa memiliki ilmu agama cukup dilematis. Di satu sisi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, di sisi lainnya mereka tidak rela melihat generasi muslim Cham di masa yang akan datang hancur, terkikis agamanya.

“Saya sempat ingin meninggalkan kampung ini seperti teman-teman lainnya. Tapi saya juga merasa memiliki tanggung jawab,” tegasnya dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar.

Zein tidak ingin masa depan muslim Cham suram. Ia pun berpikir bagaimana ilmu agamanya tetap tersampaikan. Strateginya adalah dengan mendidik keluarga terdekat, setelah itu ia berharap keluarganya akan menyampaikan kembali kepada tetangga. Demikian terus-menerus dan dari mulut ke mulut.

Ia pun berharap, lebih banyak lagi warga kampungnya yang bisa menuntut ilmu di luar negeri sebagaimana dirinya. Karena itulah salah satu cara melestarikan Islam di negeri ini ketika ajaran Islam sulit diajarkan di dalam. “Kalau di sini mereka tidak bisa belajar, ya kita kirim mereka belajar di luar. Sehingga nanti mereka bisa mengajarkannya kepada orang tua dan keluarganya,” harapnya.

Semoga saja, keinginan Zein ini terwujud, mengingat mayoritas penduduk Xa Soui Day masih hidup dalam garis kemiskinan. Sebagian besar mengandalkan hidup dari sawah yang mereka tanami padi, dan sadapan karet dari kebun yang mereka garap.

Semoga saja ada banyak donator yang terketuk hatinya dan membiayai anak-anak kampung ini untuk belajar ilmu agama di negeri luar seperti Indonesia, Malaysia, maupun Timur Tengah. Karena kita tidak ingin masa depan muslim Cham suram.

Wallahu a’lam bisshawab

Kiriman: Amirul Hasan (PR Officer Dompet Dhuafa)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement