Jumat 23 Nov 2012 13:27 WIB

Penulis Sufi Klasik: Ibnu Al-Arabi (2)

Ibnu al-Arabi (ilustrasi).
Foto: ca.wikipedia.org
Ibnu al-Arabi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Muhyiddin ibnu al-Arabi adalah salah seorang sufi di Abad pertengahan, kehidupan dan tulisan-tulisannya sekarang banyak memengaruhi pemikiran di Timur maupun Barat.

Oleh masyarakat Arab, ia dikenal sebagai Syeikh al-Akbar, 'Syeikh Agung', sedang orang-orang Kristen Barat melalui terjemahan langsung mengenalnya; 'Doktor Maksinius'. Ia wafat pada abad ke-13.

Impian di Mosul

Seorang pencari ayat suci yang memberi pengalaman batiniah yang penting, masih menderita karena kesulitan menafsirkannya secara konstruktif Ia minta petunjuk kepada Syeikh Agung Ibnu al-Arabi tentang mimpi yang sangat mengganggunya ketika berada di Mosul, Iraq.

Ia melihat Guru Ma'ruf yang luhur dari Karkh seolah duduk di tengah-tengah api neraka. Bagaimana mungkin Ma'ruf yang agung berada dalam neraka?

Apa yang kurang dari daya permahamannya, adalah keadaannya sendiri. Ibnu al-Arabi, dari permahamannya terhadap si Pencari jati diri dan kemanusiaannya, menyadari bahwa intisarinya adalah melihat Ma'ruf dikelilingi api.

Api merupakan penjelasan tentang bagian jiwa yang belum dikembangkan, sebagai sesuatu dimana Ma'ruf yang agung terperangkap. Makna sesungguhnya adalah rintangan antara keberadaan Ma'ruf dan keberadaan si Pencari jati diri.

Jika si Pencari (jati diri) ingin mencapai suatu keadaan yang setara dengan Ma'ruf, pencapaian yang ditandai dengan sosok Ma'ruf, maka ia harus melalui satu tahap yang dalam mimpinya digambarkan dengan lingkaran api. Dengan penafsiran ini si Pencari dapat memahami situasinya, dan menunjukkan pada dirinya apa yang masih perlu dilakukan.

Kesalahannya adalah menganggap gambaran Ma'ruf adalah Ma'ruf, dan api adalah api Neraka. Bukan sekadar kesan (Naqsy) tetapi penggambaran yang benar terhadap kesan tersebut, seni yang disebut Tasvir (pemberian makna terhadap gambaran) itulah fungsi seorang Pembimbing yang Benar.

Tiga Bentuk Pengetahuan

Ibnu al-Arabi dari Spanyol, menginstruksikan para pengikutnya dalam keputusannya yang paling kuno ini:

Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama, pengetahuan kecerdasan otak, yang sesungguhnya hanyalah keterangan dan kumpulan kenyataan, dan pemanfaatan sampai pada pengertian-pengertian atau rencana para cendekiawan lebih jauh. Ini disebut ajaran kecendekiawanan (intelektualisme).

Kedua, pengetahuan tentang keberadaan, meliputi perasaan yang emosional (renjana) dan kejanggalan, di mana manusia menganggap bahwa ia merasakan sesuatu tetapi tidak dapat memanfaatkannya. Ini disebut (emosionalisme).

Ketiga, pengetahuan sejati yang disebut Pengetahuan atas Realitas. Pada bentuk ini, manusia dapat merasakan apa yang benar, sejati, melampaui batas-batas pemikiran dan perasaan. Para sarjana dan ilmuwan terpusat pada bentuk pertama pengetahuan. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua. Lainnya memadukan keduanya, atau memanfaatkan salah satu sebagai pilihan.

Tetapi mereka yang mencapai kebenaran, adalah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya sendiri dengan realitas berada di dua bentuk pengetahuan tersebut. Mereka inilah kaum Sufi sejati, kaum Darwis dan mengalami Pencapaian.

sumber : Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma'rifat oleh Idries Shah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement