REPUBLIKA.CO.ID, Popularitas ustaz memengaruhi besar kecilnya tarif ceramah.
Ada kalanya komersial dakwah itu dimainkan oleh pihak manajemen. Ustaznya sendiri tidak tahu tarif tersebut.
Karena popularitas sang ustaz, banyak majelis taklim yang rela menunggu antrean panjang.
Padahal, di sekitarnya ada ustaz/dai yang ilmunya mumpuni tanpa harus membayar dengan harga tinggi.
Terkadang majelis taklimnya sendiri yang menginginkan ustaz populer, yang sudah masuk televisi. Padahal, masih banyak ustaz berilmu lainnya yang tidak komersial serta ilmunya mumpuni.
Untuk menghindari komersialisasi dakwah, Imam Nawawi, Sekretaris Inisiasi PP Hidayatullah menegaskan, jangan menjadikan dakwah sebagai mata pencaharian.
Kalau ustaznya saja memasang tarif, dikhawatirkan niat berdakwah bukan lagi karena Allah, sehingga umat tidak tercerahkan.
Selain itu, bagaimana umat akan yakin kepada Allah kalau si ustaz itu sendiri tidak yakin adanya rezeki dari Allah. Padahal, dalam Alquran Allah menegaskan, barang siapa yang menolong agama Allah, Allah yang akan menolongnya.
Untuk menghindari terjadinya komersialisasi dakwah, Imam Nawawi mengimbau pada ustaz untuk mempunyai skill keduniawian. Seperti Rasulullah sebagai pedagang, Abu Bakar juga pedagang, Abu Hanifah sebagai pedagang, juga memiliki kebun, dan lainnya.
“Kalau ustaz memiliki penghasilan, tidak akan lagi menjadikan dakwah sebagai mata pencaharian. Tetapi, berdakwah sebagai tanggung jawab panggilan nurani untuk disampaikan kepada umat,” paparnya.
Imam Nawawi menambahkan, ilmu itu tidak berbanding lurus dengan popularitas. Oleh karenanya, umat harus cerdas memilih ustaz jangan sekedar populer, tampil di televisi, tetapi pilih ustaz yang ikhlas, memiliki ilmu, dan bisa menjadi teladan bagi umat.
“Siapa tahu ustaz-ustaz yang tulus seperti itu ada di sekitar kita. Hal itu lebih baik daripada hanya mengharapkan kehadiran ustaz yang populer atau menentukan tarif,” tandasnya.