REPUBLIKA.CO.ID, Sejalan dengan akibat buruk yang ditimbulkan oleh utang itu.
Nabi SAW mengajarkan kepada umatnya agar menolong orang yang mempunyai utang. Bahkan, setelah Islam mendapat kemenangan.
Nabi SAW bersabda, "Aku lebih utama mengurusi orang-orang mukmin daripada dirinya sendiri, maka barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka akulah yang akan membayarnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa persoalan utang umat Islam yang tidak mampu membayarnya menjadi tanggungjawab penguasa, yang diambil dari Baitul Mal (kas negara).
Dalam ilmu fikih, garim atau orang yang berutang, merupakan satu dari delapan kelompok (asnaf) manusia yang berhak menerima zakat (sedekah).
Pendapat ini diambil dari ayat Alquran surah At-Taubah (9) ayat 60, "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”
Menurut Imam Abu Hanifah, garim adalah orang yang mempunyai utang dan ia tidak memiliki bagian harta yang lebih untuk membayar utangnya itu. Pengertian garim berbeda dengan dan tidak selalu termasuk dalam pengertian miskin.
Orang miskin adalah orang yang penghasilannya tidak memadai untuk menutupi kebutuhan hidupnya, sedangkan garim adalah orang yang berutang yang kadangkala berpenghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi penghasilannya itu tidak berlebih sehingga tidak mampu membayar atau melunasi utangnya.