Rabu 03 Oct 2012 16:57 WIB

Fatwa Qardhawi tentang Bunga Bank (4-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Riba (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Riba (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi—demikian juga  dalam undang-undang buatan manusia—tidak boleh  disandarkan  kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi.

Semua ulama telah sepakat bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai  sandaran  hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi  dihukumi sebagai hukum keseluruhan.

Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan  kaidah kulliyyah (kaidah umum).

Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian.

Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka  hal  itu  merupakan  suatu  keganjilan  atau penyimpangan  dari  kondisi  normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.

Boleh jadi orang berkata,  "Tetapi bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh mengambil keuntungannya?"

Betul bahwa bank  memperdagangkan  uang  tersebut,  tetapi apakah  sang  nasabah  ikut  melakukan aktivitas dagang itu. Sudah tentu tidak.

Kalau nasabah  bersekutu  atau  berkongsi dengan  pihak  bank  sejak  semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan  sebagai  konsekuensinya  nasabah  akan  ikut menanggung  apabila  bank  mengalami  kerugian. 

Namun pada kenyataannya,  pada  saat  bank  mengalami   kerugian   atau bangkrut,  maka  para  penabung  menuntut  dan  meminta uang mereka, dan pihak  bank  pun  tidak  mengingkarinya. 

Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit.

Bagaimanapun juga, sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu  dalam  kerugian  bank  tersebut,  bahkan   mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikitpun.

sumber : Fatawa Al-Qardhawi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement