REPUBLIKA.CO.ID, Tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi—demikian juga dalam undang-undang buatan manusia—tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi.
Semua ulama telah sepakat bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan.
Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian.
Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Boleh jadi orang berkata, "Tetapi bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh mengambil keuntungannya?"
Betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu. Sudah tentu tidak.
Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian.
Namun pada kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya.
Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit.
Bagaimanapun juga, sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikitpun.