REPUBLIKA.CO.ID, Sedangkan Syekh Syaltut tidak pernah memperbolehkan bunga riba, hanya dia pernah berujar, "Bila keadaan darurat—baik darurat individu maupun darurat ijtima'iyah—maka bolehlah dipungut bunga itu."
Dalam hal ini dia memperluas makna darurat melebihi yang semestinya, dan perluasan dia ini tidak saya setujui. Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan pendapat ini.
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun kerugiannya.
Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang sama-sama memikul tanggung jawab.
Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara pemilik modal dengan pengelola. Misalnya, pengelola memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik modal hanya lima atau enam persen, atau terlepasnya tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem ekonomi Islam meskipun Syeh Syaltut pernah memfatwakan kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada beliau.
Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh ia mengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika ia menzakati harta yang ia simpan di bank.