REPUBLIKA.CO.ID, Setelah usia bertambah, selain mempelajari Alquran dan ilmu berhitung, para siswa juga bisa mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Masjid-masjid besar biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lebih luas.
Di masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman kekhalifahan pun bisa mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum, dan teologi.
Pada waktu itu, perpustakaan masjid telah menjadi lumbung ilmu yang melecut semangat para pelajar, ulama, dan ilmuwan untuk berlomba-lomba meraih ilmu. Para peserta didik tidak hanya menimba ilmu di masjid saja.
Untuk mempraktikkan kemampuannya dalam bidang kedokteran, misalnya, para siswa juga belajar di rumah sakit. Sedangkan, mereka yang memiliki ketertarikan terhadap bidang astronomi bisa belajar langsung di observatorium.
Kegiatan belajar ini juga bisa dilakukan di madrasah yang pada era keemasan Islam umumnya berdampingan dengan bangunan masjid. Selain itu, kegiatan belajar tersebut bisa juga diselenggarakan di rumah-rumah para guru.
Keseluruhan kegiatan belajar ini, menurut Salah Zaimeche PhD dalam tulisannya yang bertajuk “Education in Islam: The Role of Mosque”, diselenggarakan tanpa memungut biaya. Dengan sistem dan metode pendidikan seperti ini, setiap anak Muslim pada era keemasan Islam memperoleh kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan.
Karenanya tak mengherankan jika pada masa itu di negeri-negeri yang diperintah oleh kekhalifahan Islam tidak ditemukan adanya anak-anak yang buta huruf maupun buta aksara. Dan dengan menguasai beragam ilmu pengetahuan itulah, dunia Islam tampil sebagai penguasa dunia selama beberapa abad.
Sayangnya, konsep pendidikan seperti itu mulai meluntur. Menurut Esposito, gerakan politik dan sosial internal pada abad ke-18 hingga 20 M telah membuat dunia Islam mengabaikan pendidikan Islam dan memberikan peluang pada gagasan sekuler dan misionaris eksternal yang menjadikan pendidikan agama dalam artian sempit.