Sabtu 15 Sep 2012 06:56 WIB

Dan Apa Gunanya Kodok Marah

Tim Ekspedisi Khatulistiwa Subkorwil 03/Putussibau menemukan kodok purba yang berukuran sebesar ayam
Foto: M Fakhruddin/Republika
Tim Ekspedisi Khatulistiwa Subkorwil 03/Putussibau menemukan kodok purba yang berukuran sebesar ayam

REPUBLIKA.CO.ID,  Assalamu’alaikum Wr Wb

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Pada satu kesempatan Mas Nano Riantiarno sutradara sekaligus pimpinan teater koma menyatakan bahwa kita semua mesti bersabar menerima keputusan pembredelan, menahan seluruh amarah, menahan kekesalan untuk tidak berbuat anarkis.

Beliau berujar, “Dan apa gunanya kodok marah..”. kata-kata itu dikutip dari sebuah bait lagu judulnya “Jula-juli kodok marah”. Liriknya dibuat Mas Nano, sedangkan lagunya dibuat almarhum Harry Roesli. Bunyinya kurang lebih begini:

Dan apa gunanya kodok marah, hanya bunyi jengkong di malam hari”.

Lagu itu kurang lebih menceritakan kegalauan orang-orang yang kalah, yang kemudian tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melampiaskan amarah dengan berbicara banyak.

Persis seperti kodok marah, tidak berdampak apa-apa. Hanya bunyi jengkong di malam hari. Lalu semua pada malam itu merasa terwakili oleh lagu itu, menjadi orang-orang yang kalah. Yang tidak dapat berbuat sesuatupun, hanya bisa berbicara banyak, tanpa dampak. Peristiwa ini terjadi ketika salah satu pementasannya di bredel pada zaman orde baru.

Waktu berjalan, langkah demi langkah berlalu dan ternyata saya salah. Mas Nano sama sekali tidak kalah. Justru jika melampiaskan amarah mestilah berada di pihak yang kalah. Beberapa tahun kemudian dibuktikan Mas Nano Riantiarno dan teater komanya semakin berkibar. Pementasan yang sama pun roadshow keliling di berbagai kota di Indonesia. Naskahnya diterjemahkan ke dalam versi berbahasa Inggris. Pesan-pesan moral yang terkandung dalam naskahnya pun tersebarluas di berbagai kalangan penikmat teater, bahkan sampai saat ini.

Ternyata ini memang bukan perkara menang dan kalah. Tetapi bagaimana bersabar menahan amarah dan fokus terus istiqomah dalam berupaya. Saya menjadi teringat sebuah hadits,

Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Siapakah orang yang perkasa menurut kalian?” Para sahabat menjawab, “Orang yang tidak dikalahkan oleh orang lain.” Lalu beliau menjawab, “Bukan keperkasaan dengan mengalahkan orang lain, akan tetapi keperkasaan adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.”(Muttafaqun ‘alaih).

Menundukkan diri sendiri atau hawa nafsu untuk tetap di dalam ketaatan menjalankan perintah Allah SWT adalah salah satu bentuk kesabaran. Dalam hadits lainnya dijelaskan bahwa “Sesungguhnya amarah adalah bara yang dinyalakan di dalam hati.” (HR. Tirmidzi) Jika kita tela’ah kalimat “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An Naas, 114 : 5)

Kata Al waswas pada mulanya berarti suara yang sangat halus yang biasa digunakan untuk bisikan-bisikan negatif. Para ulama, khususnya kaum sufi menekankan bahwa pada hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan hati. Kecuali bila ia dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak tersebut.

“Tidak diketahui bisikan syirik, kecuali oleh seorang muslim, tidak diketahui bisikan kemunafikan kecuali oleh seorang mukmin, demikian juga bisikan kebodohan kecuali oleh yang berpengetahuan, bisikan kelengahan kecuali yang ingat, bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan dunia kecuali dengan amalan akhirat.” (At Tusturi ulama besar sufi).

Dari sana kita bisa memahami bahwa bisikan negative itu muncul dari dua sumber, nafsu manusia dan rayuan setan. Gejolak dan dorongan nafsu tertolak dengan tekad tidak mengikutinya. Karena “Nafsu bagaikan bayi, jika anda membiarkannya menyusui terus menyusu, dan jika anda berkeras menyapihnya, dia akan menurut.” (Kutipan dari tafsir Al Misbah M. Quraish Shihab jilid 15).

Dalam konteks lirik lagu Mas Nano yang saya ambil sebagai judul “Dan apa gunanya kodok marah, hanya bunyi jengkong di malam hari”. Ternyata jika “jengkong”-nya adalah spirit istiqomah di dalam kebaikan serta kesabaran, kekuatannya bagaikan tetesan air yang akan melubangi batu. Subhanallah wal hamdulillah memang “Kebenaran hadir tanpa pandang bulu. Tidak melihat dari siapa, dimana dan peristiwa apa dia datang."

Terima kasih untuk pengalaman yang luar biasa, dan tabik untuk para guru.

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ustadz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)

@erickyusuf

[email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement