Selasa 11 Sep 2012 18:09 WIB

Karakter Wayang dan Syiar Islam (3)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Karakter wayang (ilustrasi).
Foto: seasite.niu.edu
Karakter wayang (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Jika Punakawan ini disusun secara berurutan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, secara harfiah bermakna, “Berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan meninggalkan kejelekan.”

Selain Punakawan, istilah-istilah lain dalam pewayangan juga banyak berasal dari istilah Arab. Astina yang diistilahkan sebagai nama kerajaan para penguasa yang lalim, diyakini lebih dekat dengan kata Asy-Syaithan.

Rajanya, Duryudana, lebih dekat dengan kata Durjana. Setiap orang jahat (durjana), pasti akan menemukan kekalahan dan menjadi teman setan di neraka.

Ketika seorang dalam memainkan Bala Astina dalam pentas wayang, mereka selalu ditempatkan di sebelah kiri bersama-sama dengan para raksasa. Sedangkan Pandawa Lima selalu di sebelah kanan. Hal ini menggambarkan bahwa yang baik dan yang buruk itu berbeda.

Sementara itu, tokoh pewayangan yang dikenal kuat, perkasa, dan berjiwa ksatria adalah Bima. Ia memiliki kekuatan yang disebut Dodot Bangbang Tulu Aji dan Kuku Pancanaka. Kata Tulu Aji bermakna tiga aji atau tiga kekuatan. Maksud ajian itu adalah Bima diselimuti tiga ilmu, yaitu iman, Islam, dan ihsan.

Sedangkan Kuku Pancanaka merupakan kekuatan untuk melengkapi Dodot Bangbang Tulu Aji. Kuku Pancanaka memiliki arti kekuatan Lima Waktu. Apabila kedua kekuatan itu digunakan, merupakan simbolisasi yang berarti apabila telah memiliki iman, Islam, dan ihsan, tak akan pernah meninggalkan shalat lima waktu.

Kata dalang sendiri diambil dari kata 'dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar. Demikian juga kisah-kisah wayang yang dibuat oleh Walisongo kesemuanya menampilkan cerita Islami. Di antaranya cerita Jimat Kalisada (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci, Petruk jadi Raja, dan Wahyu Hidayat (Wahyu petunjuk).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement