Selasa 04 Sep 2012 06:46 WIB

Ummu Habibah: Keteguhan Iman Sang Ummu Mukminin

Gurun pasir (ilustrasi)
Foto: .free-extras.
Gurun pasir (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heri Ruslan

Agama dan akidah merupakan prioritas utama dalam hidup Ummu Habibah. Dengan lantang, sang Muslimah memproklamirkan diri bahwa loyalitasnya hanya dipersembahkan untuk Allah SWT dan Rasulullah SAW. Ujian dan penderitaan hidup yang dialaminya, tak sedikitpun menggoyahkan imannya.

Sejatinya, sang mujahidah itu bernama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ia dilahirkan 13 tahun sebelum Muhammad SAW diutus menjadi nabi dan rasul. Ummu Habibah berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya bernama Abu Sufyan dan ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams.

Sejak belia, Ummu Habibah dikenal sebagai anak yang berkpribadian kuat, fasih bicaranya, encer otaknya dan cantik parasnya.  Ia dipersunting seorang pemuda bernama Ubaidillah bin Jahsy. Suaminya terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahim AS, yang tak menyembah berhala dan tak suka mabuk serta berjudi.

Sempat terbesit dalam hati Ummu Habibah untuk mengikuti agama sang suami. Pada zaman itu,  mayoritas penduduk Makkah menyembah berhala yang mereka buat sendiri.  Tak lama setelah menjadi istri Ubaidillah,  Muhammad diutus sebagai Nabi dan Rasulullah. Gemparlah penduduk Makkah mendengar datangnya agama samawi bernama Islam itu.

Sang suami, Ubaidillah memilih memeluk agama baru itu. Ia lalu mengajak Ummu Habibah untuk memeluk Islam bersamanya. Kaum kafir Quraisy murka dan marah besar dengan datangnya Islam. Mereka pun melakukan terror dan mengintimidasi siapapun yang memeluk agama Allah SWT itu.

Rasulullah SAW lalu memerintahkan Kaum Muslimin untuk berhijrah ke Habasyah (Etopia). Ummu Habibah bersama suaminya termasuk dalam kelompok umat Islam yang turut berhijrah.

Saat itu, ia sedang mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, Ummu Habibah melahirkan seorang putri bernama Habibah. Orang-orang kemudian memanggilnya Ummu Habibah.  Setelah beberapa lama tinggal di Etopia, umat Muslim yang hijrah itu mendengar bahwa Islam telah menguat dan menyebar di Makkah.

Banyak di antara mereka yang kemudian memutuskan kembali ke tanah kelahirannya di Makkah. Namun, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk tetap tinggal di benua Afrika.

Mereka yang akan kembali ke Makkah, di tengah perjalanan mendengar bahwa kaum kafir Quraisy makin gencar menebar terror dan menindas pemeluk agama Islam. Akhirnya, mereka kembali ke Habasyah. Bertahun-tahun, umat Islam yang tinggal di Afrika itu menunggu kabar baik dari Makkah.

Keimanan Ummu Habibah pun mulai diuji. Ubaidillah yang mengajaknya masuk Islam justru menjadi pesimis dan putus sa bahwa agama yang dibawa Muhammad SAW akan berkembang. Ia pun memilih murtad dari Islam dan memeluk agama orang-orang Habasyah, yakni nasrani.

‘’Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani,’’ ujar Ubaidillah kepada istrinya.

Ubaidillah yang dulunya tak pernah mabuk pun menjadi peminum. Sang suami pun akhirnya tewas karena terlalu banyak menenggak minuman keras. Ummu Habibah pun sempat diajak sang suami meninggalkan Islam. Namun, dengan tegas ia menolaknya. Ummu Habibah memilih tinggal di Habasyah. Ia tak mungkin kembali ke Makkah, karena ayahnya adalah orang yang paling memusuhi Islam.

Suatu malam Ummu Habibah bermimpi. ‘’Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan ‘Ummul-Mukminin’. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku,’’ tuturnya. Mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan.

Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW. ‘’Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.”

Sungguh gembira hati Ummu Habibah. Ia lalu berkata, ‘’Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’’ Abrahah lalu berkata, ‘’‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu.’’ Ummu Habibah lalu Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash, sebagai walinya.

Sebagai tanda syukur, Ummu Habibah  memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki, cincin perak yang dipakainya. Kabar pernikahannya dengan Rasulullah SAW merupakan pukulan telak bagi Abu Sufyan.

Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, ‘’Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi SAW  menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.

Setelah menjadi Ummu Mukminin, ia akhirnya berkumpul bersama Rasulullah SAW di Madinah.  Suatu hari, sang ayah datang menemui Rasulullah SAW di Madinah, dengan tujuan untuk bernegosiasi, karena mendengar pasukan Muslim akan menyerang Makkah.

Keimanan Ummu Habibah kembali diuji. Sang ayah mencoba untuk memperalatnya. Namun, upaya itu tak berhasil. Ia lebih mencintai Allah SWT dan Rasulullah. Abu Sufyan pun merasa makin terpukul dan kembali ke Makkah dengan perasaan kecewa.

Hingga akhirnya, kaum Muslimin berhasil menguasai Makkah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerina ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya.

Rasulullah SAW pun berkata, ‘’Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.’’ Inilah akhir penantian Ummu Habibah. Ia merasa bahagia, karena sang ayah telah memeluk Islam. 

 sumber: Dzaujatur-Rasulullah/Nisa' Haula ar-Rasul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement