REPUBLIKA.CO.ID, KULOB--Perjuangan Muslimah Kulob, Provinsi Khatlon, Tajikistan soal jilbab patut diacungi jempol. Mereka dilarang mengenakan jilbab, dan sulit mendapatkan jilbab dengan harga terjangkau. Tak berputus asa, mereka impor jilbab dari Cina, meski konsekuensinya harus mengalami gatal-gatal.
Kepala Rumah Sakit Kulob, Alikhon Murodov mengatakan melihat dari masalah yang dialami Muslimah, pihaknya menyimpulkan bahwa kain sintesis yang digunakan sebagai bahan jilbab menjadi penyebab utama masalah ini. "Hasil penelitian menunjukan kondisi kulit ini seperti alergi dengan kain sintesis," kata dia kepada Radio Free Europe, Ahad (2/9).
Alikhon menjelaskan gejala yang banyak dialami Muslimah antara lain iritasi kulit dan gatal. Beberapa hari kemudian berubah menjadi luka kecil. "Sebabnya, kami menyarankan Muslimah untuk menghindari kain sintetis," katanya.
Penduduk Kulob, belakangan memilih jilbab buatan Cina. Mereka juga mengenakan gaun dan celana panjang yang terbuat dari kain sintetits. Larangan pemerintah berikut kondisi ekonomi yang morat-marit membuat pakaian impor dari Cina yang seharga 20 dolar AS menjadi pilihan realistis.
Madina Jabborova, warga Kulob, mengaku merasakan gatal-gatal dilehernya, semejak mengenakan pakaian buatan Cina. Gejala kian memburuk ketika cuaca panas datang. "Kulit semakin gatal," kata dia.
Rahima Qayumova mengatakan harga kain katun atau sutra yang melonjak membuat Muslimah Tajikistan memilih kain sintetits. "Harganya (kain katun/sutra) bisa lima kali lipat dari kain sintetis," ungkapnya.
Namun, sejumlah Muslimah tidak sependapat kalau alergi itu disebabkan kain sintetis. Munarava mengaku tidak masalah mengenakan jilbab dari kain sintetis. "Saya kira, ini hanya masalah kebersihan saja. Saya sendiri tidak masalah dengan hal itu," ungkapnya.