Sabtu 01 Sep 2012 22:02 WIB

Sejarah dan Hukum Akikah (3-habis)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Akikah (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Akikah (ilustrasi).

Hukum Akikah

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum akikah. Perbedaan pendapat ini muncul disebabkan adanya perbedaan pemahaman terhadap hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini.

Hukum akikah ada yang menyatakan wajib dan ada pula yang menyatakan sunah muakkadah (sangat utama).

Ulama Zahiriyah berpendapat, hukum melaksanakan akikah adalah wajib bagi orang yang menanggung nafkah si anak, maksudnya orang tua bayi. Mereka mengambil dasar hukumnya dari hadis Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi.

“Anak yang baru lahir itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, dan pada hari itu juga hendaklah dicukur rambutnya dan diberi nama." (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Sementara itu, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, akikah hukumnya sunah muakkadah. Demikian pendapat Imam Malik, ulama Madinah, Imam Syafi’i serta para pengikutnya, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Saur, dan segolongan besar ahli fikih dan mujtahid (ahli ijtihad).

Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi SAW, "Barang siapa di antara kamu ingin bersedekah buat anaknya, bolehlah ia berbuat." (HR Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Sementara itu, para fukaha (ahli fikih) pengikut Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat bahwa akikah tidak wajib dan tidak pula sunah. Melainkan termasuk ibadah tatawwu' (sukarela).

Pendapat ini dilandaskan kepada hadis Nabi SAW, "Aku tidak suka sembelih-sembelihan (akikah). Akan tetapi, barang siapa dianugerahi seorang anak, lalu dia hendak menyembelih hewan untuk anaknya itu, dia dipersilakan melakukannya" (HR Al-Baihaki).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement