Senin 06 Aug 2012 07:31 WIB

KH Abdullah bin Nuh, Ulama Pejuang dari Cianjur (2)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
KH Abdullah bin Nuh (kiri).
Foto: blogspot.com
KH Abdullah bin Nuh (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, Di masa kanak-kanak, Abdullah dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di Tanah Suci ini Abdullah tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di Makkah.

Sekembali dari Makkah, Abdullah belajar di Madrasah I'anah Cianjur yang didirikan oleh ayahandanya. Kemudian, ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah.

Bakat dan kemampuan Abdullah dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.

Setamat dari Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya.

Di sekolah ini, menurut Reiza, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato, dan kepemimpinan (leadership). Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bantu.

Antara tahun 1926 dan 1928, Abdullah diajak gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan di bidang ilmu fikih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyi Raden Mariyah (Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah), yang terbilang masih kerabat dekatnya.

Kiprah sang ulama

Namun, diakui Prof Susanto, belum banyak sumber yang tergali dalam masa dekade 1030-an hingga masuknya tentara Jepang ke Jawa pada 1942 untuk menggambarkan berbagai aspek kehidupan Abdullah dan keluarganya.

Bisa jadi satu-satunya buku yang pernah merekam seluruh peristiwa dalam kehidupan KH Abdullah hingga saat ini, menurut Reiza, adalah buku “Api Sejarah” karya Ahmad Mansur Suryanegara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement