Sabtu 04 Aug 2012 19:01 WIB

Hukum Zakat Penghasilan (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Zakat (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Zakat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Zakat adalah salah satu rukun Islam yang utama. Instrumen penting yang kerap disandingkan dengan perintah shalat dan memiliki banyak dimensi.

Zakat yang secara bahasa berarti berkembang atau suci itu diberlakukan dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Mulai dari objek wajib zakat, kadar, batas kewajiban, dan subjek pendistribusian zakat.

Satu di antara persoalan zakat kontemporer ialah pelaksanaan zakat penghasilan atau profesi. Baik penghasilan yang diperoleh secara rutin, seperti gaji karyawan swasta, pejabat negara, maupun penghasilan tidak rutin, seperti dokter, pengacara, konsultan, penceramah, dan sejenisnya, serta penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.

Prof Ballah Al Hasan Umar Musa’id dalam makalahnya berjudul “Zakat Ar Rawatib wa Al ujur wa Iradat Al Mihan Al Hurrat” mengatakan, permasalahan ini mengemuka karena memicu rentetan pertanyaan. Persoalan paling mendasar ialah, ada atau tidakkah legalitas perintah zakat jenis ini dalam tuntunan zakat yang diajarkan Rasulullah?

Ballah lantas menguraikan topik ini dalam karyanya yang dipublikasikan di Majalah Universitas King Saud, Arab Saudi. Menurutnya, secara umum inti persoalannya ialah ketiadaan dalil yang dengan tegas mewajibkan jenis zakat ini.

Karenanya, praktik zakat profesi pun tidak didapati semasa Rasulullah. Pangkal perbedaan kemudian juga timbul ketika menganalogikan (qiyas) jenis ini dengan zakat al mal al mustafad.

Menurut Ballah, terkait zakat profesi muncul opsi pandangan dari sejumlah pakar fikih terkemuka. Syekh Muhammad Al-Ghazali berpendapat, zakat ini wajib dikeluarkan. Argumentasinya merujuk pada Surah Al-Baqarah 267 yang berlaku umum. Secara logika, bila seorang petani saja dibebankan berzakat, seyogianya zakat profesi diwajibkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement