Kamis 02 Aug 2012 13:35 WIB

Ensiklopedi Hukum Islam: Asuransi Syariah (3-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Asuransi syariah (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Asuransi syariah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, b) Asuransi dalam jangka waktu tertentu, berupa transaksi yang mewajibkan peserta membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak perusahaan wajib membayar sejumlah uang kepada peserta jika tenggang waktunya telah datang dan peserta masih hidup. Peserta asuransi tidak mendapatkan uang ganti rugi jika ia meninggal sebelum tenggang waktu datang.

c) Asuransi yang sifatnya peserta menerima sejumlah uang dari pihak perusahaan asuransi pada waktu-waktu tertentu jika ia masih hidup atau diberikan kepada orang yang ditunjuk peserta atau ahli warisnya jika ia telah meninggal.

Dalam asuransi bentuk terakhir ini, uang yang dibayarkan peserta secara periodik lebih besar daripada kedua bentuk asuransi sebelumnya,

2) Asuransi kecelakaan apabila peserta menderita kecelakaan badan atau cacat tubuh.

Berbeda dengan at-ta'min at-ta‘awuni, hukum at-ta'min dengan segala bentuknya yang disebutkan di atas masih diperselisihkan ulama. Ulama pertama yang membicarakan masalah asuransi dalam fikih Islam.

Ibnu Abidin (1198 H/1784 M-1252 H/1836 M), ahli fikih Mazhab Hanafi menerangkan bahwa dalam asuransi keselamatan barang yang diangkut dengan kapal laut, pemilik barang berkewajiban membayar upah atas kapal yang digunakan untuk mengangkut barang tersebut.

Disamping itu, pedagang yang bersangkutan berkewajiban membayarkan sejumlah uang kepada pihak perusahaan asuransi sebagai jaminan atas kerusakan yang mungkin terjadi terhadap barang tersebut, seperti kebakaran, tenggelam atau dibajak orang.

Apabila hal itu terjadi, maka pihak perusahaan akan membayar kerugian yang diderita pedagang itu. Dalam hal ini, Ibnu Abidin berpendapat bahwa tidak halal bagi pedagang mengambil uang ganti rugi atas barang-barangnya yang telah musnah, karena akad seperti itu "mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan”.

Menurut ketentuan dalam bermuamalah, apabila ada satu pihak menderita kerugian yang tidak disebabkan kesengajaan atau kelalaian pihak lain yang berakad. maka pihak kedua itu tidak boleh dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian, karena transaksi seperti itu mengandung garar (penipuan) yang dilarang syarak (hukum Islam).

sumber : Ensiklopedi Hukum Islam
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement