Selasa 03 Jul 2012 18:43 WIB

Makna Esoteris Isra Mikraj (3)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. Al-Isra’: 1).

Makna lailah dalam ayat pertama Surah Isra’ di atas menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan pada aspek kekuatan spiritual malam (the power of night).

Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat mendalam karena sang istri, Khadijah, dan sekaligus pelindung dan penyandang dananya, baru saja pergi untuk selama-lamanya.

Rasulullah memanfaatkan suasana duka pada malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah SWT. Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncak, Sidratil Muntaha.

Di sanalah Rasulullah di-’install’ dengan spirit luar biasa sehingga Malaikat Jibril sebagai panglima para malaikat tidak sanggup lagi menembus puncak batas spiritual tersebut karena energinya hanya terbatas sampai batas yang ditentukan.

Sinergi antara kekuatan kesedihan yang sangat mendalam dan kekuatan energi malam ditambah dengan kepasrahan total Rasulullah kepada Tuhannya, mengundang peristiwa Isra Mikraj, perjalanan menuju puncak. Namun, karena ini semua sudah menjadi rekayasa Allah, tidak perlu kita mempersoalkannya secara logika karena terlalu panjang untuk diselesaikan.

Kedahsyatan malam hari juga digambarkan Tuhan di dalam Alquran, “Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kalian sebagai suatu ibadah tambahan bagi kalian, mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’: 79).

Dalam ayat lain juga disebutkan, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat: 17).

Kata lailah dalam ketiga ayat di atas mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah. Seolah-olah jarak spiritual antara hamba dan Tuhan lebih pendek pada malam hari.

Ini mengingatkan kita bahwa hampir semua prestasi puncak spiritual terjadi pada malam hari. Ayat pertama QS. Al-Alaq: 1-5 diturunkan pada malam hari. Ayat- ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad SAW sebagai Nabi pada malam hari.

Tidak lama kemudian, turun ayat dalam Surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Muhammad sebagai nabi sekaligus rasul menurut kalangan ulama pakar di bidang ilmu Alquran.

Peristiwa Isra dan Mikraj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha), juga terjadi pada malam hari. Dan, yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadar lebih mulia dari ribuan tahun), bukannya siang hari Ramadhan (nahar al-qadr).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement