Rabu 27 Jun 2012 21:29 WIB

Menahan Diri dari Dosa Selama Haji

Rep: Hannan Putra/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Jamaah Haji (ilustrasi)
Foto: britishmuseum.org
Jamaah Haji (ilustrasi)

Oleh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz

REPUBLIKA.CO.ID, Sudah semestinya seorang hujjaj yang telah mengunjungi rumah Allah SWT selalu menjaga dirinya untuk menjauhi semua perbuatan yang dilarang Allah. Bahkan, hal-hal yang dimakruhkan sekalipun haruslah ia jauhi.

Makruh, yang berarti dibenci Allah meski dibolehkan, sudah seharusnya dijauhi seorang mukmin yang taat. Bagaimana mungkin ia melakukan sesuatu yang dibenci oleh Tuhanny, seperti duduk mengobrol sesuatu yang tidak bermanfaat. dan lain sebagainya.

Apakah layak seorang yang mengunjungi baitullah demi memenuhi panggilanNya namun dalam perjalanan tersebut ia malah bermaksiat dan melakukan perbuatan yang diharamkan di Tanah Haram Alllah SWT.

Allah berfirman, "Dan barangsiapa bermaksud melakukan kejahatan dan berbuat aniaya di dalamnya, kepadanya Kami timpakan azab yang pedih Menyakitkan. (QS. Al-Baqarah, 25).

Ketika Allah memberikan ancaman untuk menghukum mereka yang melakukan perbuatan dosa di dalam Tanah Suci, setiap orang semestinya bisa mengukur seberapa besar azab yang akan ditimpakan-Nya. Paling tidak, hujjaj tersebut tidak dapat memperoleh manfaat dan pahala untuk ibadah hajinya begitu pula ampunan untuk dosa-dosanya kecuali ia meninggalkan semua larangan-Nya.

Rasulullah SAW bersabda, "Seseorang yang melaksanakan ibadah haji dan tidak melakukan perbuatan buruk dan melanggar hukum, ia akan kembali laksana se­orang bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya."

 Salah satu dari dosa besar dan cukup serius adalah memohon kepada orang yang telah meninggal. Menggantungkan harapan terhadap orang meninggal bahwa mereka akan merekomendasikan kasus mereka kepada Allah, bisa mengobati orang sakit, atau dapat membuat orang hilang pulang.

Orang yang melakukan perbuatan semacam ini jelas melakukan perbuatan syirk. Perbuatan syirk adalah praktik politeis (menyembah banyak Tuhan) di zaman Jahiliyah.

Untuk menghentikan praktik-praktik kemusyrikan semacam itulah Allah mengutus Rasul-Nya dan menuainkan Kitab-Nya. Telah menjadi tugas dan kewajiban baik seorang haji dan bukan haji untuk memberantas praktik seperti ini, bertobat kepada Allah se­andainya ia pernah melakukan dosa serupa di masa lalu, dan mempersiapkan sesuatu yang baru untuk ibadah haji.

Kemusyrikan menghapus semua perbuatan baik sebagaimana difirmankan Allah, "Tetapi jika mereka mempersekutukan Dia, maka sia-sia sajalah perbuatannya." (QS. Al- An'am [6], 88).

Musyrik kecil adalah mengangkat sumpah dengan nama orang lain dan bukan dengan nama Allah, seperti dengan nama Nabi, Kabah, dan iman seseorang. Demikian juga kemunafikan dan hasrat untuk termasyhur dan ungkapan-ungkapan seperti, “Apa yang diinginkan Allah adalah keinginanmu”, atau “Seandainya Allah dan kamu tidak ada di sana”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement