Ahad 24 Jun 2012 11:30 WIB

Yang Esa dan Yang Majemuk (2)

Ilustrasi
Foto: multiply.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Alam merupakan bagian dari mata rantai yang tak terputus melalui proses suci (devine proces) dari level Ahadiyah. Meskipun demikian, para sufi mengakui bahwa meskipun alam secara historis merupakan turunan dari wujud sakral (divine reality), namun alam tidak bisa disebut Tuhan (al-Haq) karena alam sudah termasuk kategori ciptaan (al-khalqiyyah).

Sedangkan para filosof atau mu takallimin menganggap alam sebagai wujud (al-wujud/al-makhluq) yang terpisah sama sekali dengan Allah SWT. Alam adalah makhluk dan Allah SWT adalah Sang Khalik. Bagaimana proses keberadaannya itu urusan Allah SWT dan bagi-Nya segalanya amat mudah melalui proses “kun fa yakun”.

Alam ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dan dihubungkan dengan kemahamuliaan Allah SWT, dengan kata lain alam ini bukan divine reality sebagaimana kata para sufi.

Relasi alam dan Tuhan menurut epistimologi tasawuf sangat dekat (QS Al-Baqarah: 186), bahkan tak terpisahkan (QS Al-Anfal: 17). Allah lebih dekat dari urat nadi kita (QS Al-Baqarah: 165), kemana pun wajah menghadap di situ ada wajah-Nya (QS Al-Baqarah: 115).

Bagi para sufi, sulit membedakan atau bahkan tidak bisa membedakan antara Yang Esa dan yang banyak, antara Yang Tunggal dan yang plural, karena yang banyak dan majemuk itu (hanyalah) refleksi dari Yang Mahaesa. Pola relasi Tuhan (al-Haq) dan hamba (al-khalq) lebih bersifat inmanen, karena itu mereka lebih menonjolkan rasa cinta.

Sedangkan epistimologi filsafat/kalam relasi alam dan Tuhan berangkat dari asumsi bahwa Tuhan (al-Khaliq) adalah Sosok Yang Mahatransenden (jauh), dan makhluk sebagai hamba tidak bisa dibandingkan, apalagi dianggap memiliki keserupaan (similarity) dengan Tuhan. Tuhan ya Tuhan yang harus disembah dan hamba ya hamba yang harus menyembah (QS Al-Dzariyat: 56), Tuhan tidak bergantung sama sekali pada makhluk-Nya. “Dia Mahakuasa atas segala sesuatu,” (QS Hud: 4).

Manusia memang ditunjuk sebagai khalifah (QS Al-Baqarah: 30), tetapi tidak menggeser kedudukannya sebagai hamba yang berkewajiban untuk mengabdi kepada Tuhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement