REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Pemerintah Cina seolah tidak pernah puas mengintimidasi Muslim Uighur. Buktinya, kebijakan diskriminatif kembali diterapkan. Kebijakan itu memungkinkan kepolisian Cina merazia rumah-rumah Muslim Uighur.
Pejabat Kepolisian Gujiangbage, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan agar kepolisian melakukan razia terhadap rumah dan keluarga Muslim Uighur.
Hal itu dilakukan setelah kepolisian mengetahui ada rencana pemboman. "Jika ada keluarga yang menolak untuk bekerjasama, maka pihak kepolisian akan menindak tegas," kata dia seperti dikutip onislam.net, Kamis (21/6).
Ketika razia dilakukan terhadap sekolah Islam, aparat mengklaim telah menemukan 12 pelaku rencana pemboman. Tiga dari 12 anak akhirnya tertangkap. Namun, takmir masjid Uighur menolak tuduhan bahwa 12 anak itu merupakan pelaku rencana pemboman.
Juru Bicara Kongres Uighur Dunia, Dilxat Raxit, mengatakan sekolah itu tidak mengajarkan terorisme atau ekstremitas. “Sekolah itu murni memberikan pendidikan Alquran. Aparat terlalu berlebihan," kata Raxit.
Organisasi Muslim Uighur lainnya, Asosiasi Uighur Amerika (UAA), menilai kebijakan itu merupakan awal dari penindasan terhadap agama dan budaya minoritas. "Kampanye yang dilakukan di Hotan, merupakan bukti terbaru penggunaan kekerasan untuk menindak setiap aktivitas Muslim Uighur," demikian pernyataan UAA.
Muslim Uighur merupakan etnis minoritas Cina yang berbahasa Turki. Mereka kerap menjadi objek kebijakan represif pemerintah Cina. Tak hanya itu, Cina juga menerapkan kebijakan yang menempatkan jutaan etnis Han yang mayoritas guna menghapus identitas dan budaya Muslim Uighur. Para analis mengatakan, kebijakan itu juga merupakan bagian dari usaha konsolidasi pengawasan Beijing terhadap wilayah tersebut.
Beijing memandang wilayah Uighur sangat strategis dan memiliki cadangan minyak dan gas yang cukup besar. Tentu, Beijing tidak akan ragu untuk melakukan apa pun guna melindungi kepentingannya.