REPUBLIKA.CO.ID, Nourdeen Wildeman tak meng awali ketertarikannya pada Islam dengan pencarian apapun. Ia tak sedang mencari Tuhan atau alasan di balik kebesaran alam semesta kala itu, tidak pula sebuah tujuan hidup. “Aku hanya sedang mencari sebuah buku,” ujarnya.
Pria berkebangsaan Belanda ini menerima banyak pertanyaan setelah resmi memeluk Islam. Selain mempertanyakan respons lingkungan dan keluarganya, sebagian besar orang menanyakan alasan kepindah annya ke Islam. “Itu pertanyaan yang mengejutkan, terutama jika yang melontarkannya adalah seorang Muslim,” kata Nourdeen.
Nourdeen selalu mengatakan bahwa kebenaran Islamlah yang menjadikannya seorang Muslim. “Keislamanku bukan karena aku hampir mati setelah menabrakkan mobilku ke pohon atau karena mengalami momen ajaib di mana aku melihat secercah cahaya,” tulisnya dalam sebuah artikel.
Semua berawal pada satu hari sekitar 2003-2004, saat Nourdeen mendatangi sebuah toko buku. Penggemar buku-buku filosofi dan sosiologi itu belum memutuskan untuk membeli buku apa pun saat ia menemukan sebuah buku berwarna hijau.
Tertulis “Islam; Values, Principles, and Reality” pada sampul buku tersebut. Nourdeen memegang dan mengamatinya. Saat itu, ia teringat beberapa Muslim yang dikenalnya.
“Aku tidak pernah tahu apa yang mereka percayai dan yakini.”
“Islam adalah semua yang ada di pemberitaan yang memengaruhi hubungan di dalam dan di luar negeri,” Nourdeen mendefinisikan Islam dalam pikirannya saat itu. Berangkat dari pandangan itu, ia pun membuat sebuah keputusan kecil yang penting.
“Aku berjalan menuju kasir dan membeli buku itu. Aku ingin mengetahui segala hal tentang agama yang banyak mewarnai pemberitaan itu,” kata pria kelahiran 29 Januari 1983 ini.
Hingga detik itu, otak Nourdeen menyimpan berbagai asosiasi negatif tentang Islam. Misalnya, ia menyimpan keheranan ketika seorang Muslim berpikir dirinya saleh, sementara ia berbuat semena-mena pada istrinya. Ia juga mempertanyakan alasan Muslim menyembah bangunan kubus di Makkah dan menganggap Muslim sebagai komunitas yang tidak toleran.
“Semua pikiran itu mendorongku untuk membaca tentang Islam,” ujarnya. Dan, Nourdeen mulai menghabiskan buku Islam pertamanya. Ia lalu beralih pada sebuah buku lainnya dan melahap habis isinya, kemudian mulai membaca buku ketiga dan seterusnya.
Nourdeen membaca cukup banyak buku tentang Islam dan mulai terkejut dengan apa yang didapatnya. “Aku menemukan bahwa hampir semua yang kupikirkan adalah bagian dari Islam dan apa-apa yang aku tentang adalah hal-hal yang telah ditentang oleh Islam.”
Ia menemukan hadis Nabi Muhammad SAW yang menya takan bahwa baik tidaknya iman seseorang dapat dilihat dari cara ia memperlakukan istrinya. “Aku mulai mengerti bahwa umat Islam tidak menyembah Ka’bah dan bahkan menentang penyembahan patung dan sejenisnya,” kata nya.
Nourdeen mulai merasa kagum. Segala hal yang ia baca tentang Islam tak berbantahan dengan pemikirannya. “Islam sependapat denganku. Aku tak perlu meyakinkan diriku tentang perintah atau ajaran Islam karena hampir seluruhnya merupakan aturan dasar yang telah kusepakati jauh sebelumnya,” katanya. “Aku seperti membaca pendapatku sendiri.”
Puasa dan jauhi alkohol
Suatu ketika saat tiba bulan Ramadhan, ia mencoba berpuasa. “Aku membeli Alquran dan mengunduh jadwal Ramadhan (kalender waktu shalat dan imsak) dari internet.”
Nourdeen mempelajari banyak hal sepanjang Ramadhan tahun itu. Memasuki hari-hari terakhir bulan tersebut, Nourdeen mendatangi sebuah masjid untuk membayar zakat. “Memberikan uang untuk tujuan yang baik adalah hal benar untuk dilakukan. Jadi, menjadi non-Muslim bukanlah alasan untuk tidak memberi,” ujarnya.
Sampai di masjid, ia bertemu dengan seorang bendahara masjid yang menyambutnya dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kamu seorang Muslim?” Nourdeen menggeleng, lalu melanjutkan, “Tapi, aku berpuasa sebulan penuh kemarin.”
Sang bendahara masjid itu berpesan kepadanya untuk tidak terburu-buru dan mengambil sebanyak mungkin waktu yang ia butuhkan untuk mempelajari Islam.
Nourdeen terus membaca untuk mempelajari Islam hingga Ramadhan selanjutnya tiba. Seperti biasa, pada pengujung Ramadhan, ia kembali mendatangi masjid untuk membayar zakat. Pria yang pernah ditemuinya kembali menyambutnya dan menanyakannya pertanyaan yang sama, “Apakah kamu kini seorang Muslim?” Nourdeen menggeleng. “Bu kankah Anda menyuruhku un tuk tidak terburu-buru?” jawabnya. Sambil menggeleng perlahan, pria itu berkata, “Ya, tapi jangan terlalu menganggapnya enteng.”
Nourdeen mencoba menjadikan tahun itu sebagai tahun terakhirnya sebagai non-Muslim. Ia berhenti merokok dan meminum alkohol. “Aku mendorong diriku dan orang-orang sekitarku untuk berbuat baik serta mencegah diriku dan diri mereka untuk menjauhi perbuatan yang salah.”
Pilihan Rasional, Bukan Emosional
Dari sebuah jejaring sosial, Nourdeen mengenal seorang Muslimah yang juga berasal dari Belanda. Begitu ia tahu Nourdeen belum memeluk Islam, perempuan itu menyarankannya untuk berkunjung dan bertemu suaminya, seorang Muslim kelahiran Mesir.
Nourdeen memenuhi saran itu. Nourdeen dan pria tersebut membicarakan banyak hal. Saat kembali berkunjung pada kesempatan lain, pria itu mengajari Nourdeen cara shalat yang benar. “Aku berupaya sebaik mungkin dan ia memperhatikan gerakanku.”
Nourdeen bersyahadat dua minggu kemudian, 9 Desember 2007, di sebuah masjid yang tak jauh dari tempat tinggal pasangan Muslim yang dikenalnya lewat jejaring sosial itu. “Jalanku menuju Islam adalah melalui buku-buku dan aku datang (pada Islam) melalui teori,” katanya. Pilihan pada Islam, kata Nourdeen, merupakan pilihan yang rasional, bukan emosional.
Setelah resmi berislam, Nourdeen mendalami Alquran di Dar al- ‘Ilmi di Belanda. Ia segera dikenal sebagai aktivis Islam dan penggiat dakwah. Tahun lalu, ia meluncurkan program dakwah berkelanjutan berbasis pelayanan masjid di Negeri Kincir Angin itu.