REPUBLIKA.CO.ID, Tapi, banyak hadis yang menyatakan tentang penggunaan rukyat?
Memang banyak sekali hadis tentang rukyat. Nabi berpuasa selama sembilan kali karena puasa Ramadhan diwajibkan sejak tahun kedua Hijriyah. Jadi, Nabi melihat rukyat untuk puasa selama sembilan kali juga.
Semuanya intinya berpuasalah kamu apabila melihat hilal. Dan, ditutup dengan apabila tidak terlihat maka ujung penutup ada dua, pertama lakukan estimasi atau perhitungan, dan kedua sempurnakan bilangan bulan berjalan 30 hari. Nah, kalau kita sempurnakan berarti tidak rukyat.
Jadi, intinya bukan karena rukyat itu kita mulai dan mengakhiri puasa Ramadhan, melainkan kepastian bahwa bulan sudah masuk, bisa dengan rukyat serta dengan menggenapkan. Dan, itu sarana yang tersedia pada zaman Nabi. Sekarang kita sudah punya sarana yang lebih maju, yaitu menghitung secara hisab.
Terkait tawaran pemerintah, yakni sistem hisab imkanur rukyat?
Itu sebenarnya rukyat juga atau rukyat yang dihisab. Ini adalah rukyat yang dihitung sebelum terjadinya. Jadi, itu akan membelah Bumi juga. Di Arab Saudi sudah imkanul rukyat, di Indonesia belum karena Bulan bergerak tinggi yang ketika lewat di Indonesia Bulan masih rendah. Apalagi, kriteria yang dipakai pemerintah menetapkan imkanul rukyat adalah dua derajat.
Sementara, kita belum mampu menyatukan, ya, masyarakat harus bertoleransi dulu untuk menerima perbedaan. Dan, pemerintah juga jangan memaksakan. Karena, secara ilmiah dan syar’i, kriteria-kriteria yang diusul kan belum menjawab persoalan.
Kelemahan hisab?
Hisab banyak ragamnya. Masing-masing metode hisab terus berkembang. Tidak semua sistem hisab yang dipakai mampu menyatukan tanggal. Yang empat tadi yang bisa menyatukan, tapi harus dicari yang paling tepat.