REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof KH Ali Mustafa Yaqub MA
Pada 1996, Ittihadul Muballighin, organisasi para mubaligh yang dipimpin KH Syukron Ma’mun menyelenggarakan musyawarah nasional (munas). Salah satu keputusan penting yang diambil dalam munas itu adalah merumuskan kode etik dakwah untuk para dai.
Keputusan ini diambil karena pada waktu itu mulai muncul dai walakedu (ju[w]al agama kejar duit). Rumusan kode etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau mubaligh dalam menjalankan dakwahnya sehingga mereka dapat mewarisi tugas para nabi, bukan justru mendapat laknat dari Allah SWT dalam berdakwah.
Sekurang-kurangnya, ada tujuh kode etik dakwah. Kode etik pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari Alquran surah al-Shaff ayat 2-3. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah SWT karena kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian kerjakan.”
Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah SAW di mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu, kecuali beliau melakukannya. Kode etik kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antarumat beragama memang sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah.
Dalam masalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi. Bahkan, Nabi SAW banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi dalam akidah dan ibadah dilarang dalam Islam.
Hal itu berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Kafirun ayat 6, “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku.” Dalam Hadis Riwayat Imam ibn Hisyam juga disebutkan, “Orang-orang Yahudi Kabilah Bani Auf adalah satu bangsa bersama orang-orang mukmin, bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang mukmin agama mereka.”
Kode etik ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari surah al-An’am ayat 108. “Dan, janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Kode etik keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi SAW masih berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin, antara lain, Bilal al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang kepada Nabi SAW sejumlah tokoh bangsawan Quraisy yang juga hendak belajar Islam dari beliau.
Namun, bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi SAW untuk mengusir Bilal dan kawan-kawannya itu. Nabi kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun akhirnya Allah menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi itu, yaitu surah al-An’am ayat 52. “Dan, janganlah kamu mengusir orang-orang yang selalu menyembah Tuhannya pada pagi hari dan petang sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan kamu yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka sehingga kamu termasuk orang-orang zalim.”
Kode etik kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil antara lain dari Alquran surah Saba’ ayat 47. “Katakanlah, upah apa pun yang aku minta kepadamu maka hal itu untuk kamu (karena aku pun tidak minta upah apa pun kepadamu). Upahku hanya dari Allah. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Demikian pula perilaku para Nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, mereka tidak pernah memungut imbalan, apalagi pasang tarif, tawar-menawar, dan lain sebagainya. Kode etik keenam, tidak mengawani pelaku maksiat. Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akhirnya, justru Allah SWT melaknat mereka semua. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan dalam surah al-Maidah ayat 78-79.
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa bin Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya, sangatlah buruk apa yang mereka lakukan itu.”
Dan, kode etik ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode etik ini diambil dari surah al-Isra ayat 36. “Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Karena, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan kode etik dakwah telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat ke hari kiamat fenomena munculnya dai walakedu semakin ramai. Bahkan, sering dibarengi dengan apa yang disebut dengan management walakedu. Wallahul muwaffiq.
*Penulis adalah Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta