REPUBLIKA.CO.ID, Kini, atas bantuan pengeras suara, menara masjid tidak lagi berfungsi sebagai tempat di mana muazin berdiri mengumandangkan azan. Apakah itu termasuk hal yang perlu disesali?
Saya rasa tidak. Karena, merujuk pada tujuan awal pembangunan menara masjid, menara yang ada saat inipun memiliki fungsi yang sama. Semakin tinggi lokasi asal suara, semakin jauh jangkauan suaranya. Kini, keberadaan menara masjid memungkinkan kita meletakkan pengeras suara di tempat yang tinggi, bukan?
Dan itu berarti pemanfaatan teknologi juga termasuk dalam ijtihad?
Ya, tentu saja. Teknologi juga bentuk ijtihad karena keberadaannya memudahkan kumandang azan menjangkau tempat yang lebih jauh. Muazin kan tetap mengumandangkan azan, namun kini mereka tidak perlu naik ke atas menara seperti dulu.
Sebagai arsitek Muslim, apa harapan Anda bagi arsitektur Islam?
Karena Alquran dan hadis tidak memiliki aturan tentang konstruksi tertentu pada masjid, maka kemudian pembangunan dan pengembangannya berprinsip ‘suka-suka.’ Kalau kita amati masjid-masjid dan menara-menara yang ada Turki, semua indah-indah. Itu sah-sah saja karena dalam sebuah hadis disebutkan “Innallaaha jamiilun yuhibbul jamaal” (Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Indah dan menyukai keindahan).
Terlepas dari itu, arsitektur-arsitektur Islam juga tentu disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi lingkungan, atau lainnya. Yang terpenting tidak sampai mubazir atau berlebih-lebihan, karena itu adalah salah satu hal yang tidak disukai Allah.
Bagi para arsitek Muslim, saya tentu berharap peran mereka menjadi manifestasi dari ijtihad yang mengejar maslahat, bukan mudharat. Arsitektur Islam, terutama tempat ibadah, sebisa mungkin memperhatikan hal-hal yang bisa berdampak pada nilai atau kualitas ibadah di dalamnya, dan tidak mengedepankan aspek estetis semata.