Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
“Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2).
Al-kitab dalam perspektif fukaha dan teolog seringkali diidentikkan dengan Alquran, yakni Kitab Suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dan mendapatkan pahala bagi yang membacanya. Namun, para sufi lebih banyak mengartikannya lebih luas, meliputi alam raya dan manusia.
Kalangan sufi berpendapat, sebanyak 260 kali kata ‘kitab’ berulang penyebutannya di dalam Alquran, baik dalam bentuk mufrad maupun jamak. Al-kitab, menurut mereka, meliputi tiga bentuk, yaitu makrokosmos, mikrokosmos, dan wahyu yang dibukukan. Al-kitab dalam bentuk makrokosmos dipersepsikan sebagai bagian dari Kitabullah.
Banyak sekali jumlah ayat yang dirujuk untuk menguatkan pendapat tersebut, antara lain, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Surah lainnya menyebutkan, “Dalam silih berganti malam dan siang (dalam) segala yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, ada tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa (kepada-Nya).” (QS. Yunus: 6). Kata perintah untuk membaca dalam surah Al-Alaq ayat 1 dianggap bukan perintah membaca kitab Alquran.
Sebab, ketika itu Alquran belum diturunkan. Perintah itu lebih mengarah pada perintah untuk membaca alam raya makrokosmos, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat-ayat di atas. Keyakinan ini diperkuat kenyataan bahwa Nabi Muhammad ketika itu masih buta huruf, tidak mampu membaca dan menulis.
Wajar kalau Rasulullah ketika itu bingung mau membaca apa karena ia juga tidak bisa membaca dan menulis, sehingga dalam riwayat dikatakan tiga kali beliau menyatakan, “Aku tidak bisa membaca.”
Lalu, pada akhirnya Rasulullah sadar, yang harus dibaca sebenarnya bukan kitab berisi kumpulan tulisan, melainkan fenomena alam.
Demikian pula kata dzalika al-kitab dalam Al-Baqarah ayat 2, dianggap bukan kitab Alquran yang ada di hadapan kita karena kata penunjuk yang digunakan bukan hadza, yang menunjukkan sesuatu yang ada di hadapan kita, melainkan menggunakan kata dzalika yang biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang lebih jauh.




