Senin 28 May 2012 07:51 WIB

Misykat, Pengganti Era Sekularisasi Cak Nur

Rep: Indah Wulandari/ Red: Karta Raharja Ucu
Dr Hamid Fahmi Zarkasyi
Dr Hamid Fahmi Zarkasyi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang sekularisasi ajaran Nurcholis Madjid selama hampir empat dekade lalu coba dikikis putra pendiri Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Dr Hamid Fahmi Zarkasyi. Melalui buku Misykat, Gus Hamid, panggilan akrabnya, menawarkan gagasan besar melalui Islamisasi Ilmu untuk menggantikan pemikiran sekularisasi yang dibawa mendiang Cak Nur.

"Cak Nur membawa pikiran yang menarik sekaligus mengelirukan banyak orang. Islamisasi yang dibawanya itu sebenarnya sekularisasi," ujar Gus Hamid saat konferensi pers peluncuran bukunya, Ahad (27/5) malam.

Era sekularisasi Cak Nur mengaitkan sekularisasi, kebebasan intelektual, gagasan mengenai kemajuan serta sikap terbuka. Gagasan itu ternyata mampu mensakralkan pemikirannya, meskipun banyak pula cendikiawan Muslim yang mengkritisinya. Bahkan karena Cak Nur menjadi salah satu alumnus Ponpes Modern Gontor, terkadang diidentikkan dengan Pesantren Gontor.

"Orang-orang berpikiran liberal saat era Cak Nur masih melakukan syariat. Saat ini malah orang liberal tidak melakukan syariat Islam, bahkan hanya dianggap produk ulama saat 3 Hijriah. Inilah dekonstruksi syariah," ujar Gus Hamid menjelaskan.

Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini sangat prihatin jika aspek syariah mulai dikesampingkan. Sehingga kelak jika tak ada upaya perjuangan, maka lenyaplah halal haramnya sesuatu.

"Namun kita tak boleh mengkafirkan orang. Membathilkan orang saat ini tak mudah, perlu ajaran yang kuat melatarbelakangi pemikiran untuk melawan ajaran pluralisme, relativisme agama. Kenapa agama dianggap jahat, inilah era yang disebut liberalisasi dan globalisasi," cetus Gus Hamid.

Melalui Misykat, Gus Hamid berupaya mengkritisi dunia pemikiran Islam yang berlumur kontaminasi pemikiran liberal seperti pluralisme agama, bukan serupa toleransi yang telah dimiliki bangsa Indonesia saat ini. "Umat Islam lahir dalam masyarakat plural. Toleransi terbaik di dunia ada di Indonesia. Dan mayoritasnya Islam. Jadi Orang Islam paling toleran dibanding umat agama lain," tegas kolumnis di Harian Republika ini.

Pluralisme, gender, feminisme, serta gelombang pemikiran dan kebudayaan ini dinilainya harus dihadapi dengan gelombang pemikiran yang menyelamatkan dari efek elemen asing yang memarjinalkan Islam sebagai budaya bermartabat.

Pemimpin Redaksi Harian Republika, Nashihin Masha secara terpisah mengapresiasi penguasaan pemikiran Gus Hamid terhadap beragam kajian keilmuan klasik hingga modern. "Mudah-mudahan kedalaman penguasaan Gus Hamid menginspirasi pemikiran umat dengan Islam sejati disertai contoh-contoh. Sehingga Islam tak jadi ironi antara ajaran dan sehari-hari," sebut Nashihin.

Sekjen MIUMI Ustaz Bachtiar Nasir mengenal pemikiran Gus Hamid bisa menjadi pencerah bagi Islam di Indonesia. Era sekulerisasi Cak Nur dianggap mulai usang dan sedang memasuki gairah dunia pemikiran baru. "Era Cak Nur telah berganti menjadi Era Gus Hamid," cetus Bachtiar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement