REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Damanhuri Zuhri
Membangun keluarga menjadi titik yang sangat strategis di dalam membangun kehidupan berbangsa.
Perkawinan merupakan wasilah yang diperbolehkan ajaran Islam untuk melestarikan keberadaan manusia di muka bumi. Pernikahan merupakan fitrah dan sunah yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Sejatinya ikatan penikahan itu sangat kuat. Allah SWT berfirman, ‘’…Padahal, sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri, dan mereka (istri-istri) telah mengambil darimu perjanjian yang kuat.’’ (QS An-Nisaa:21).
Seiring berubahnya zaman, ikatan pernikahan pada sebagian keluarga Muslim tampak semakin melonggar. Hal itu ditandai dengan tingginya angka perceraian di kalangan keluarga Muslim. Berdasarkan data pada Pengadilan Agama (PA) di seluruh Indonesia, dari 246.015 perkara yang disidangkan, sebanyak 241.729 perkara terkait dengan masalah perkawinan.
‘’Masalah perkawinan mencapai 98,2 persen dari jumlah perkara yang disidangkan di Pengadilan Agama (PA),’’ ujar Prof Nasaruddin Umar. Kasus gugat cerai mencapai 171.477 perkara. Sedangkan cerai talak berjumlah 86.592 perkara.
Nasaruddin, mengungkapkan, bertambahnya intensitas dan frekuensi ragam informasi yang mengandung unsur-unsur pornografi di masyarakat menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian. Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) itu, menegaskan, tayangan infotainment yang disiarkan televisi memiliki peran yang sangat besar sebagai penyebab tingginya angka perceraian.
‘’Hampir setiap hari, tayangan infotainment memberitakan figur-figur yang bercerai,’’ ungkap Nasaruddin. ''Sebelum Majelis Ulama Indonesia memfatwakan infotainment itu haram, kami sudah berkoar-koar bahwa infotainment menjadi salah satu faktor penyebab maraknya perceraian.’’
***
Mengapa bisa? Guru Besar UIN Jakarta itu, mengungkapkan, puluhan acara infotainment setiap hari diyangkan televisi. Para artis, kata dia, dipandang pasangan muda sebagai trend setter. Terlebih, lanjut Nasaruddin, tak sedikit pasangan muda dan tua yang mengidolakan mereka.
Tingginya angka perceraian terjadi karena pasangan suami-istri gagal mencapai keluarga sakinah. Padahal, setiap pasangan, ketika akad nikah sangat mendambakan tercapainya sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.
Menurut Guru Besar Psikologi Islam Uiniversitas Indonesia dan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Achmad Mubarok, keluarga sakinah merupakan istilah khas Indonesia yang menggambarkan suatu keluarga yang bahagia dalam perspektif Islam. ‘’Dalam bahasa Arab disebut usrah sa’idah atau keluarga bahagia,’’ ungkapnya.
Mubarok menuturkan, sebuah pasangan akan mencapai taraf keluarga sakinah, jika dibangun oleh lima pilar, seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Kelima pilar itu adalah: Pertama, memiliki kecenderungan kepada agama. Kedua, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda. Ketiga, sederhana dalam belaja. Keempat, santun dalam bergaul. Kelima, selalu introspeksi.
Menurut hadis Nabi, kata Mubarok, kebahagiaan keluarga akan datang dari empat faktor, yakni; suami/istri yang setiap (saleh/salehah), anak-anak yang berbakti, lingkungan sosial yang sehat, dan dekat rezekinya. ‘’Problem paling berat dalam membangun keluarga sakinah di tengah masyarakat modern adalah menghadapi ‘penyakit manusia modern’,’’ tuturnya.
***
Kata dia, pada zaman Nabi, peperangan lebih bersifat fisik, tetapi pada zaman modern, musuh justru menyelusup ke dalam rumah tangga melalui media komunikasi. Mubarok mengungkapkan, ada sejumlah kendala atau penyakit yang menghambat terbentuknya sebuah keluarga sakinah.
Pertama, akidah yang keliru. Misalnya mempercayai kekuatan dukun, magic dan sebagainya. Kedua, makanan yang tidak halalan thayyiba. Menurut hadis Nabi, sepotong daging dalam tubuh manusia yang berasal dari makanan haram, cenderung mendorong pada perbuatan haram.
Ketiga, kemewahan. Menurut Alquran, kehancuran suatu bangsa dimulai dengan kecenderungan hidup mewah. Ketiga, pergaulan yang tak terjaga kesopanannya. Kelima, kebodohan. Keenam, akhlak yang rendah. Keenam jauh dari agama. ‘’Padahal agama itu tuntunan hidup,’’ papar Mubarok.
Keluarga sakinah, menurut dia, ikut menentukan terwujudnya masyarakat yang harmonis. Menurut dia, sistem sosial sebuah masyarakat sesungguhnya ditentukan oleh sistem keluarga. ‘’Jika keluarganya baik-baik, masyarakat otomatis akan baik pula. Jika dalam keluarga sudah tidak terbangun, maka masyarakat juga tidak terbangun.’’
Mubarok menegaskan, membangun keluarga menjadi titik yang sangat strategis di dalam membangun kehidupan berbangsa. Orang yang sukses hidup di dalam keluarga, meskipun gagal dalam kehidupan sosial, dia masih tetap dianggap orang sukses.
‘’Sebaliknya, orang yang sukses dalam kehidupan sosial, tapi gagal di kehidupan keluarga, dia dianggap orang gagal,’’ ujarnya. Membangun sebuah bangsa harus dimulai dari membangun keluarga.
***
Mantan peragawati senior Ratih Sanggarwati mengungkapkan untuk mewujudkan keluarga sakinah, tidak melulu harus menggunakan kesamaan derajat antara suami dan istri. Menurutnya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam rumah tangga bukan seperti matematik.
‘’Meujudkan keluarga sakinah tak melulu harus menggunakan pendekatan kesamaan derajat, tetapi bagaimana menyikapi persoalan yang dihadapi bersama dengan ikhlas,’’ papar Ratih. Menurut dia, sukses dalam karier dan rumah tangga menjadi salah satu indikator terbentuknya keluarga sakinah.