REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun 1928, untuk kali pertama ia terlibat langsung dalam kegiatan Muhammadiyah dengan menjadi peserta muktamar di Solo, dan sejak itu Hamka hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian Ketua Tabligh, sampai menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padangpanjang.
Pada tahun 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada tahun 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Makassar untuk menjadi mubalig Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 pada bulan Mei 1932 di Makassar.
Pada tahun 1934, ia kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Di awal tahun 1936, Hamka pindah ke Medan dan terjun dalam gerakan Muhammadiyah Sumatra Timur. Di kota ini, ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat.
Pada tahun 1942 ia terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur dan baru tahun 1945 meletakkan jabatan itu karena pindah ke Sumatera Barat. Sejak 1946, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatra Barat. Kedudukan ini dipegangnya sampai 1949.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto pada 1953, ia terpilih menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah dan sejak itu selalu terpilih dalam muktamar.
Baru pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1971 di Makassar, karena faktor usia, ia memohon agar tidak dipilih kembali. Tetapi, sejak itu pula ia diangkat menjadi penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981.
Aktif menulis
Nama Hamka juga dikenal luas berkat karya-karyanya. Kecintaannya terhadap dunia menulis ini dimulai ketika ia memutuskan untuk memasuki dunia jurnalisme pada akhir tahun 1925.
Saat itu ia mengirim artikel ke harian Hindia Baru, yang dieditori oleh Haji Agus Salim, seorang pemimpin politik Islam. Sekembalinya ke Padangpanjang, Hamka mendirikan jurnal Muhammadiyah pertama, Chatibul Ummah.
Sejak saat itu, dia mulai rajin menulis karya-karya sastra. Bukunya yang pertama merupakan sebuah novel Minangkabau berjudul 'Si Sabariah', terbit pada tahun 1925. Dia secara teratur mengirimkan artikel ke jurnal-jurnal lokal dan menerbitkan buku kecil mengenai adat Minangkabau dan sejarah Islam.
Pada 1936, dia menerima tawaran menjadi editor kepala pada sebuah jurnal Islam baru di Medan, Pedoman Masyarakat. Ketika dia menjabat sebagai editor, jurnal ini menjadi salah satu yang paling sukses dalam sejarah jurnalisme Islam di Indonesia.